Selamat Datang di Blognya Wong Dezzo

HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN


Masalah nyanyian, baik dengan musik maupun tanpa alat musik,
merupakan masalah yang diperdebatkan oleh para fuqaha kaum
muslimin sejak zaman dulu. Mereka sepakat dalam beberapa hal
dan tidak sepakat dalam beberapa hal yang lain.
Mereka sepakat mengenai haramnya nyanyian yang mengandung
kekejian, kefasikan, dan menyeret seseorang kepada
kemaksiatan, karena pada hakikatnya nyanyian itu baik jika
memang mengandung ucapan-ucapan yang baik, dan jelek apabila
berisi ucapan yang jelek. Sedangkan setiap perkataan yang
menyimpang dari adab Islam adalah haram. Maka bagaimana
menurut kesimpulan Anda jika perkataan seperti itu diiringi
dengan nada dan irama yang memiliki pengaruh kuat? Mereka
juga sepakat tentang diperbolehkannya nyanyian yang baik
pada acara-acara gembira, seperti pada resepsi pernikahan,

saat menyambut kedatangan seseorang, dan pada hari-hari
raya. Mengenai hal ini terdapat banyak hadits yang sahih dan
jelas.

Namun demikian, mereka berbeda pendapat mengenai nyanyian
selain itu (pada kesempatan-kesempatan lain). Diantara
mereka ada yang memperbolehkan semua jenis nyanyian, baik
dengan menggunakan alat musik maupun tidak, bahkan
dianggapnya mustahab. Sebagian lagi tidak memperbolehkan
nyanyian yang menggunakan musik tetapi memperbolehkannya
bila tidak menggunakan musik. Ada pula yang melarangnya sama
sekali, bahkan menganggapnya haram (baik menggunakan musik
atau tidak).
Dari berbagai pendapat tersebut, saya cenderung untuk
berpendapat bahwa nyanyian adalah halal, karena asal segala
sesuatu adalah halal selama tidak ada nash sahih yang
mengharamkannya. Kalaupun ada dalil-dalil yang mengharamkan
nyanyian, adakalanya dalil itu sharih (jelas) tetapi tidak
sahih, atau sahih tetapi tidak sharih. Antara lain ialah
kedua ayat yang dikemukakan dalam pertanyaan Anda.
Kita perhatikan ayat pertama:
“Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna …”
Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian sahabat dan tabi’in
untuk mengharamkan nyanyian.
Jawaban terbaik terhadap penafsiran mereka ialah sebagaimana
yang dikemukakan Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla. Ia
berkata: “Ayat tersebut tidak dapat dijadikan alasan dilihat
dari beberapa segi:
Pertama: tidak ada hujah bagi seseorang selain Rasulullah
saw. Kedua: pendapat ini telah ditentang oleh sebagian
sahabat dan tabi’in yang lain. Ketiga: nash ayat ini justru
membatalkan argumentasi mereka, karena didalamnya
menerangkan kualifikasi tertentu:
“‘Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan
perkataan yang tidak berguna untuk  menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan …”
Apabila perilaku seseorang seperti tersebut dalam ayat ini,
maka ia dikualifikasikan kafir tanpa diperdebatkan lagi.
Jika ada orang yang membeli Al Qur’an (mushaf) untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah dan menjadikannya bahan
olok-olokan, maka jelas-jelas dia kafir. Perilaku seperti
inilah yang dicela oleh Allah. Tetapi Allah sama sekali
tidak pernah mencela orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna untuk hiburan dan menyenangkan hatinya – bukan
untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah. Demikian juga
orang yang sengaja mengabaikan shalat karena sibuk membaca
Al Qur’an atau membaca hadits, atau bercakap-cakap, atau
menyanyi (mendengarkan nyanyian), atau lainnya, maka orang
tersebut termasuk durhaka dan melanggar perintah Allah. Lain
halnya jika semua itu tidak menjadikannya mengabaikan
kewajiban kepada Allah, yang demikian tidak apa-apa ia
lakukan.”
Adapun ayat kedua:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya …”
Penggunaan ayat ini sebagai dalil untuk mengharamkan
nyanyian tidaklah tepat, karena makna zhahir “al laghwu”
dalam ayat ini ialah perkataan tolol yang berupa caci maki
dan cercaan, dan sebagainya, seperti yang kita lihat dalam
lanjutan ayat tersebut. Allah swt. berfirman:
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:
“Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu,
kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil.” (A1 Qashash: 55)
Ayat ini mirip dengan firman-Nya mengenai sikap
‘ibadurrahman (hamba-hamba yang dicintai Allah Yang Maha
Pengasih):
“… dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka
mengucapkan kata-kata yang baik.” (Al Furqan: 63)
Andaikata kita terima kata “laghwu” dalam ayat tersebut
meliputi nyanyian, maka ayat itu hanya menyukai kita
berpaling dari mendengarkan dan memuji nyanyian, tidak
mewajibkan berpaling darinya.
Kata “al laghwu” itu seperti kata al bathil, digunakan untuk
sesuatu yang tidak ada faedahnya, sedangkan mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah tidaklah haram selama tidak
menyia-nyiakan hak atau melalaikan kewajiban.
Diriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa Rasulullah saw.
memperbolehkan mendengarkan sesuatu. Maka ditanyakan kepada
beliau: “Apakah yang demikian itu pada hari kiamat akan
didatangkan dalam kategori kebaikan atau keburukan?” Beliau
menjawab, “Tidak termasuk kebaikan dan tidak pula termasuk
kejelekan, karena ia seperti al laghwu, sedangkan Allah
berfirman:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah) …” (Al Ma’idah: 89)
Imam Al Ghazali berkata: “Apabila menyebut nama Allah Ta’ala
terhadap sesuatu dengan jalan sumpah tanpa mengaitkan hati
yang sungguh-sungguh dan menyelisihinya karena tidak ada
faedahnya itu tidak dihukum, maka bagaimana akan dikenakan
hukuman pada nyanyian dan tarian?”
Saya katakan bahwa tidak semua nyanyian itu laghwu, karena
hukumnya ditetapkan berdasarkan niat pelakunya. Oleh sebab
itu, niat yang baik menjadikan sesuatu yang laghwu (tidak
bermanfaat) sebagai qurbah (pendekatan diri pada Allah) dan
al mizah (gurauan) sebagai ketaatan. Dan niat yang buruk
menggugurkan amalan yang secara zhahir ibadah tetapi secara
batin merupakan riya’. Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu, tetapi ia
meIihat hatimu.” (HR Muslim dan Ibnu Majah)
Baiklah saya kutipkan di sini perkataan yang disampaikan
oleh Ibnu Hazm ketika beliau menyanggah pendapat orang-orang
yang melarang nyanyian. Ibnu Hazm berkata: “Mereka
berargumentasi dengan mengatakan: apakah nyanyian itu
termasuk kebenaran, padahal tidak ada yang ketiga?1 Allah
SWT berfirman:

0 komentar:

Posting Komentar

Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..