Selamat Datang di Blognya Wong Dezzo

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Tampilkan postingan dengan label Motivasi Renungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Motivasi Renungan. Tampilkan semua postingan

Keindahan Tangan Seorg Ibu

Ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru. Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.
Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya.
Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yang cantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian, saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya. Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya, seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata yang keluar tanpa saya sadari.
Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.
Perjalanan belanja kami telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya,memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.
Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya dan yang membuatnya terkejut, memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tangan yang paling indah didunia ini. Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata baru, betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu.
Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.
Dunia ini memiliki banyak keajaiban, segala ciptaan Tuhan yang begitu agung, tetapi tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan Ibu.
“Jika kamu mencintai ibu mu kirimlah cerita ini kepada orang lain, Agar seluruh orang didunia ini dapat mencintai dan menyayangi ibunya.
Berbahagialah mereka yang masih memiliki Ibu. Dan lakukanlah yang terbaik untuknya.
With love to all mothers.

Bersegeralah, Jangan Menunda!


Sudah menjadi rahasia umum dalam masalah waktu, masyarakat kita dikenal suka menggunakan sistem “jam karet”. Layaknya sebuah karet, ia akan bisa kita ulur sekehendak kita. Begitu pula halnya dengan jam karet, tidak ada prinsip tepat waktu di dalam penerapannya. Ia selalu molor, molor, dan molor. Sebagai contoh, ketika kita hendak mengadakan rapat ataupun kegiatan sejenisnya yang berkaitan dengan ketepatan waktu, maka setiap kali itu pula pemunduran jadwal dari waktu yang telah disepakati, senantiasa terjadi.
Sepakat kumpul jam tujuh, tibanya jam setengah delapan. Berjanji untuk datang jam sepuluh, munculnya malah jam sebelas, begitu seterusnya, dan begitu seterusnya. Dan ‘tradisi’ ini terjadi, bermuara pada karakter masyarakat yang ‘doyan’ menunda-nunda pekerjaan/waktu.
Ironinya, kasus tersebut (menunda-nunda) tidak hanya melanda golongan bawah (masyarakat biasa) negeri ini, namun, mereka yang ‘duduk’ di kursi pemerintahan (yang seharusnya menjadi tauladan) pun melakukan hal serupa. Perilaku yang kurang terpuji ini, tentu sangat memprihatinkan, sebab sebagai negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya kita harus lebih cermat dalam memanfaatkan waktu. Kenapa? Karena dalam ajaran Islam, tidak mengenal konsep menunda-nunda. Laa tuakhir ‘amalaka ilal ghaadi maa taqdiru an-ta’malal yaum (janganlah kamu menunda-nunda pekerjaanmu besok hari, apa yang bisa kamu lakukan sekarang).
Mengapa menunda?
Menunda biasa kita artikan dengan menangguhkan suatu urusan untuk sementara waktu, dengan jaminan akan mengerjakanya di waktu yang lain. Pada dasarnya, menunda itu tidaklah jadi masalah, dengan catatan, berhenti kita dari aktivitas tersebut, karena dituntut untuk menunaikan kewajiban yang lain, yang lebih penting atau memang kondisi yang darurat.
Dalam bukunya, Fiqh Al-Awwaliyah, Dr Yusuf Qaradhawi menerangkan, , selayaknyalah kaum muslimin untuk lebih memilih suatu pekerjaan yang dianggap paling prioritas, dari pada yang kurang prioritas.
Yang menjadi masalah –dan ini yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita saat ini– seringkali mereka menunda-nunda pekerjaan dengan alasan yang kurang dibenarkan, atau lebih tepatnya, karena merasa masih punya waktu luang, bad mood, atau sejenisnya. Penundaan macam ini yang –biasanya- justru akan membuat pekerjaan kita terbengkalai, karena untuk kembali melanjutkan aktivitas yang sudah kita tangguhkan, sukarnya luar biasa. Hal ini tidak lepas dari gangguan setan, yang notabene adalah musuh kita yang nyata.
Sebagai contoh, ketika kita hendak belajar, membaca, ataupun menelaah bidang ilmu, kita sering berleha-leha dengan alasan masih banyak waktu, “besokkan masih bisa dilanjutin.” Bisikan-bisakan demikian, sejatinya berasal dari bisikan setan dan hawa nafsu yang tidak pernah rela apabila kita melakukan kebajikan.
Tidak hanya satu, dua kali setan dan hawa nafsu mendorong kita untuk menunda pekerjaan, namun, mereka akan terus-menerus memperdayai kita, hingga kita takluk dengan bujuk rayuan mereka. Dan ketika mereka (setan dan hawa nafsu) berhasil membelokkan kita, maka, kemudian hari, kita pun akan menuai buahnya, yaitu berlalunya waktu dengan kesia-siaan. Masa muda yang penuh semangat, berlalu begitu saja hingga tiba masa tua renta. Masa kaya sirna tanpa makna berganti dengan masa sengsara. Waktu luang terbuang, berganti dengan masa sibuk. Masa sehat kita lalui tanpa sesuatu yang bermanfaat, hingga tiba masa sakit. Semua waktu berlalu, tanpa memiliki makna.
Dan yang perlu diperhatikan, setiap hitungan detik itu senantiasa terkandung akan dua hal, yaitu; hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Pengabaian terhadap hak dan kewajiban tersebut akan membawa kemudharatan yang berlipat-lipat bagi pelaku. Seorang ahli hikmah berkata bahwa kewajiban pada tiap-tiap waktu memungkinkan untuk diganti, namun hak-hak dari tiap waktu tersebut tidak mungkin diganti.
Ibnu ‘Atha mengungkapkan, “Sesungguhnya pada setiap waktu yang datang, maka bagi Allah atas dirimu kewajiban yang baru. Bagaimana kamu akan mengerjakan kewajiban yang lain, padahal ada hak Allah di dalamnya yang belum kamu laksanakan!”
Hasan Al Banna mengatakan bahwa, ”Alwaajibatu Aktsaru minal Auqoot.” Kewajiban yang dibebankan kepada kita itu lebih banyak daripada waktu yang kita miliki, pada saat kita menunda dari menyelesaikan suatu perkara. Hakikatnya kita sedang menumpuk-numpuk kewajiban, semakin kita sering menunda maka semakin banyak tumpukkan pekerjaan yang harus kita selesaikan, sehingga apabila kita menunda berarti kita hidup dalam tumpukan-tumpukan kewajiban untuk diselesaikan dalam waktu yang lebih sedikit.
Di saat kita bekerja dengan sekian banyak kewajiban dengan waktu yang sedikit, jangan harap kita dapat bekerja dengan profesional dan menyenangkan. Yang ada, justru hidup tidak tenang, selalu dihantui sekian banyak tugas dan kewajiban yang harus dikerjakan. Dan tidak menutup kemungkinan, ada beberapa kewajiban yang tidak bisa kita tunaikan karena keterbatasan waktu, tenaga, dan pikiran yang pada akhirnya akan mendapatkan kegagalan demi kegagalan yang diakibatkan oleh kebiasaan menunda tersebut
Selain itu, rasa takut juga –terkadang- menjadi alasan orang menunda-nunda pekerjaan. Padahal untuk mengatasinya, tersedia tiga pilihan bagi kita, yaitu; menghindarinya, mengharapkan ia cepat berlalu, atau menghadapinya untuk dilaksanakan.
Menghindar, jelas bukan solusi karena menghindar dari kewajiban adalah sama dengan lari dari kenyataan. Sedangkan lari dari kenyataan, berarti kekufuran atas ketetapan Allah SWT. Begitu juga dengan angan-angan kosong, agar ia (permasalahan) cepat berlalu tanpa menimpa kita, jelas ini adalah perbuatan tercela. Pilihan yang benar adalah hadapi permasalahan tersebut, dan selesaikan.
Segera, segera, segera!
Para ulama salaf kita telah menuliskan resep yang ampuh untuk mengobati penyakit kronis ini, yaitu dengan mendidik diri agar segera melakukan dan bersegera menuntaskan.
Allah Ta’ala berfirman, “Bersegeralah kalian menuju ampunan Tuhan kalian dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS Ali Imran [3]: 133).
Rasulullah juga bersabda berkaitan dengan pentingnya mempersegerakan suatu urusan. Sabdanya, “Bersegeralah melakukan perbuatan baik, karena akan terjadi fitnah laksana sepotong malam yang gelap.” (HR. Muslim). Dalam hadits lain, beliau juga menerangkan, “Jadilah engkau di dunia laksana orang asing atau orang yang menyeberangi jalan.” Ibnu umar berkata. “Bila engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan bila engkau di pagi hari, maka janganlah menunggu datangnya sore.” Manfaatkan waktu sehatmu sebelum sakitmu, dan waktu hidupmu sebelum matimu.
Hasan Al-Bashri berwasiat, “Jangan sekali-kali menunda-nunda karena Anda adalah hari ini bukan besok.” Beliau juga berkata ,”Apabila Anda memiliki esok hari, maka penuhilah dengan ketaatan, sebagaimana hari ini yang Anda penuhi dengan ketaatan bila Anda tidak lagi hidup di esok hari, maka Anda tidak akan menyesal atas apa yang Anda lakukan hari ini.”
Ibnu Al jauzi mewanti-wanti kita agar tidak mengulur-ulur waktu. Beliau pernah mengatakan, “Jangan sekali-kali mengulur-ulur waktu, karena ia merupakan tentara iblis yang paling besar.” Penundaan merupakan bekal orang yang bodoh dan lalai. Itulah sebabnya orang yang saleh berwasiat, “Jauhilah ‘saufa (nanti)’, penundaan juga kemalasan, merupakan penyebab kerugian dan penyesalan.”
Di penghujung tulisan ini, bisa kita simpulkan, kebiasaan menunda-nunda pekerjaan, merupakan perilaku buruk, yang bisa menjadi penghalang kesuksesan kita di kemudian hari. Sejarah telah berkata, tidak sedikit bani Adam mati dengan meninggalkan segudang cita-cita yang gagal direalisasikannya, dan itu dimodusi, seringkalinya ia mengucapkan kata ‘nanti’ setiap kali melakukan aktivitas. Karena itu, kita berdo’a mudah-mudahan kita tidak termasuk dalam golongan tersebut. Wallahu ‘alam bis-shawab 

Perbedaan Persepsi

Ada seorang ayah yang menjelang ajalnya di hadapan sang Istri berpesan DUA hal kepada 2 anak laki-lakinya :

-Pertama : Jangan pernah menagih hutang kepada orang yg berhutang kepadamu.
- Kedua : Jika pergi ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.

Pada suatu hari sang Ibu menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :

"Ini karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih".
"Juga Ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong, padahal sebetulnya saya bisa berjalan kaki saja, tetapi karena pesan ayah itu, akibatnya pengeluaranku bertambah banyak".

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang Ibu pun bertanya hal yang sama.
Jawab anak sulung :
"Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena Ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak pernah menghutangkan sehingga dengan demikian modal
tidak susut".

"Juga Ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam.
Karenanya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup."

"Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama".

MORAL CERITA :
Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat di tanggapi dengan presepsi yang berbeda. Jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita... pilihan ada di tangan anda.

'Berusahalah melakukan hal biasa dengan cara yang luar biasa'

Cerita, "Penjual Ikan"


Seseorang mulai berjualan ikan segar dipasar. Ia memasang papan pengumuman bertuliskan "Disini Jual Ikan Segar"

Tidak lama kemudian datanglah seorang pengunjung yang menanyakan tentang tulisannya. "Mengapa kau tuliskan kata :DISINI ? Bukankah semua orang sudah tau kalau kau berjualan DISINI , bukan DISANA?"

"Benar juga!" pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata "DISINI" dan tinggallah tulisan "JUAL IKAN SEGAR".

Tidak lama kemudian datang pengunjung kedua yang juga menanyakan tulisannya.

"Mengapa kau pakai kata SEGAR ? bukankah semua orang sudah tau kalau yang kau jual adalah ikan segar, bukan ikan busuk?"

"Benar juga" pikir si penjual ikan, lalu dihapusnya kata "SEGAR" dantinggallah tulisan "JUAL IKAN"

Sesaat kemudian datanglah pengunjung ke tiga yang juga menanyakantulisannya : "Mengapa kau tulis kata JUAL? Bukankah semua orang sudah tau kalau ikan ini untuk dijual, bukan dipamerkan?"

Benar juga pikir si penjual ikan,, lalu dihapusnya kata JUAL dan tinggalahtulisan "IKAN"

Selang beberapa waktu kemudian, datang pengunjung ke 4, yang juga menanyakan tulisannya : "Mengapa kau tulis kata IKAN?, bukankah semua orang sudah tau kalau ini Ikan bukan Daging?"

"Benar juga" pikir si penjual ikan, lalu diturunkannya papan pengumuman itu.

(Author Unknown)

Sahabat, Bila kita ingin memuaskan semua orang, maka yakinlah itu hal yang mustahil.... atau bahkan kita malah justru merugikan diri sendiri

Sudah menjadi fitrah manusia untuk berbeda pendapat. Terbukti perumahan mungil2 yang dulunya sama semua, dalam hitungan tahun sudah menjadi beda semua...

Jadi utamakan suara hati anda... biarlah orang lain berpendapat..., tapi saringlah, cerna kembali pendapat mereka... apakah sesuai dengan kata hati anda?... jika tidak, maka tegaslah tuk mengatakan... "Tidak!... maaf" :)

Trimakasih telah membaca... Salam Motivasi...!
sumber: http://ceceem.blogspot.com/2010/10/cerita-penjual-ikan.html

Cara Tuhan (Andy F. Noya)


Malam itu saya gelisah. Tidak bisa tidur. Pikiran saya bekerja ekstra
keras. Dari mana saya bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Sampai jam tiga
dini hari otak saya tetap tidak mampu memecahkan masalah yang saya hadapi.
Tadi sore saya mendapat kabar dari rumah sakit tempat kakak saya berobat.
Menurut dokter, jalan terbaik untuk menghambat penyebaran kanker payudara
yang menyerang kakak saya adalah dengan memotong kedua payudaranya. Untuk
itu, selain dibutuhkan persetujuan saya, juga dibutuhkan sejumlah biaya
untuk proses operasi tersebut.

Soal persetujuan, relatif mudah. Sejak awal saya sudah menyiapkan mental
saya menghadapi kondisi terburuk itu. Sejak awal dokter sudah menjelaskan
tentang risiko kehilangan payudara tersebut. Risiko tersebut sudah saya
pahami. Kakak saya juga sudah mempersiapkan diri menghadapi kondisi
terburuk itu.

Namun yang membuat saya tidak bisa tidur semalaman adalah soal biaya.
Jumlahnya sangat besar untuk ukuran saya waktu itu. Gaji saya sebagai
redaktur suratkabar tidak akan mampu menutupi biaya sebesar itu. Sebab
jumlahnya berlipat-lipat dibandingkan pendapatan saya. Sementara saya harus
menghidupi keluarga dengan tiga anak.

Sudah beberapa tahun ini kakak saya hidup tanpa suami. Dia harus berjuang
membesarkan kelima anaknya seorang diri. Dengan segala kemampuan yang
terbatas, saya berusaha membantu agar kakak dapat bertahan menghadapi
kehidupan yang berat. Selain sejumlah uang, saya juga mendukungnya secara
moril. Dalam kehidupan sehari-hari, saya berperan sebagai pengganti ayah
dari anak-anak kakak saya.

Dalam situasi seperti itu kakak saya divonis menderita kanker stadium
empat. Saya baru menyadari selama ini kakak saya mencoba menyembunyikan
penyakit tersebut. Mungkin juga dia berusaha melawan ketakutannya dengan
mengabaikan gejala-gejala kanker yang sudah dirasakannya selama ini. Kalau
memikirkan hal tersebut, saya sering menyesalinya. Seandainya kakak saya
lebih jujur dan berani mengungkapkan kecurigaannya pada tanda-tanda awal
kanker payudara, keadaannya mungkin menjadi lain.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pada saat saya akhirnya memaksa dia
memeriksakan diri ke dokter, kanker ganas di payudaranya sudah pada kondisi
tidak tertolong lagi. Saya menyesali tindakan kakak saya yang
"menyembunyikan" penyakitnya itu dari saya, tetapi belakangan ? setelah
kakak saya tiada -- saya bisa memaklumi keputusannya. Saya bisa memahami
mengapa kakak saya menghindar dari pemeriksaan dokter. Selain dia sendiri
tidak siap menghadapi kenyataan, kakak saya juga tidak ingin menyusahkan
saya yang selama ini sudah banyak membantunya.

Namun ketika keadaan yang terbutruk terjadi, saya toh harus siap
menghadapinya. Salah satu yang harus saya pikirkan adalah mencari uang
dalam jumlah yang disebutkan dokter untuk biaya operasi. Otak saya
benar-benar buntu. Sampai jam tiga pagi saya tidak juga menemukan jalan
keluar. Dari mana mendapatkan uang sebanyak itu?

Kadang, dalam keputus-asaan, terngiang-ngiang ucapan kakak saya pada saat
dokter menganjurkan operasi. "Sudahlah, tidak usah dioperasi. Toh tidak ada
jaminan saya akan terus hidup," ujarnya. Tetapi, di balik ucapan itu, saya
tahu kakak saya lebih merisaukan beban biaya yang harus saya pikul. Dia
tahu saya tidak akan mampu menanggung biaya sebesar itu.

Pagi dini hari itu, ketika saya tak kunjung mampu menemukan jalan keluar,
saya lalu berlutut dan berdoa. Di tengah kesunyian pagi, saya mendengar
begitu jelas doa yang saya panjatkan. "Tuhan, sebagai manusia, akal
pikiranku sudah tidak mampu memecahkan masalah ini. Karena itu, pada pagi
hari ini, aku berserah dan memohon Kepada-Mu. Kiranya Tuhan, Engkau membuka
jalan agar saya bisa menemukan jalan keluar dari persoalan ini." Setelah
itu saya terlelap dalam kelelahan fisik dan mental.

Pagi hari, dari sejak bangun, mandi, sarapan, sampai perjalanan menuju
kantor otak saya kembali bekerja. Mencari pemecahan soal biaya operasi.
Dari mana saya mendapatkan uang? Adakah Tuhan mendengarkan doa saya?
Pikiran dan hati saya bercabang. Di satu sisi saya sudah berserah dan yakin
Tuhan akan membuka jalan, namun di lain sisi rupanya iman saya tidak cukup
kuat sehingga masih saja gundah.

Di tengah situasi seperti itu, handphone saya berdering. Di ujung telepon
terdengar suara sahabat saya yang bekerja di sebuah perusahaan public
relations. Dengan suara memohon dia meminta kesediaan saya menjadi
pembicara dalam sebuah workshop di sebuah bank pemerintah. Dia mengatakan
terpaksa menelepon saya karena "keadaan darurat". Pembicara yang seharusnya
tampil besok, mendadak berhalangan. Dia memohon saya dapat menggantikannya.

Karena hari Sabtu saya libur, saya menyanggupi permintaan sahabat saya itu.
Singkat kata, semua berjalan lancar. Acara worskshop itu sukses. Sahabat
saya tak henti-henti mengucapkan terima kasih. Apalagi, katanya, para
peserta puas. Bahkan pihak bank meminta agar saya bisa menjadi pembicara
lagi untuk acara-acara mereka yang lain.

Sebelum meninggalkan tempat workshop, teman saya memberi saya amplop berisi
honor sebagai pembicara. Sungguh tak terpikirkan sebelumnya soal honor ini.
Saya betul-betul hanya berniat menyelamatkan sahabat saya itu. Tapi sahabat
saya memohon agar saya mau menerimanya.

Di tengah perjalanan pulang hati saya masih tetap risau. Rasanya tidak enak
menerima honor dari sahabat sendiri untuk pertolongan yang menurut saya
sudah seharusnya saya lakukan sebagai sahabat. Tapi akhirnya saya berdamai
dengan hati saya dan mencoba memahami jalan pikiran sahabat saya itu. Malam
hari baru saya berani membuka amplop tersebut. Betapa terkejutnya saya
melihat angka rupiah yang tercantum di selembar cek di dalam amplop itu.
Jumlahnya sama persis dengan biaya operasi kakak saya! Tidak kurang dan
tidak lebih satu sen pun. Sama persis!

Mata saya berkaca-kaca. Tuhan, Engkau memang luar biasa. Engkau Maha Besar.
Dengan cara-Mu Engkau menyelesaikan persoalanku. Bahkan dengan cara yang
tidak terduga sekalipun. Cara yang sungguh ajaib.

Esoknya cek tersebut saya serahkan langsung ke rumah sakit. Setelah
operasi, saya ceritakan kejadian tersebut kepada kakak saya. Dia hanya bisa
menangis dan memuji kebesaran Tuhan. Tidak cukup sampai di situ. Tuhan
rupanya masih ingin menunjukkan kembali kebesaran-Nya. Tanpa sepengetahuan
saya, Surya Paloh, pemilik harian Media Indonesia tempat saya bekerja,
suatu malam datang menengok kakak saya di
rumah sakit. Padahal selama ini saya tidak pernah bercerita soal kakak
saya.

Saya baru tahu kehadiran Surya Paloh dari cerita kakak saya esok harinya.
Dalam kunjungannya ke rumah sakit malam itu, Surya Paloh juga memutuskan
semua biaya perawatan kakak saya, berapa pun dan sampai kapan pun, akan dia
tanggung. Tuhan Maha Besar.