Selamat Datang di Blognya Wong Dezzo

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Mohon Maaf Jika Anda Merasa Tidak Nyaman

Masih Dalam Proses Pembaharuan.

Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh. Tampilkan semua postingan

Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam







Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.


Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab 
Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah 
Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah danAl-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Atha'illah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi.

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.
Dari berbagai sumber

Biografi Ibnu Sina – Tokoh Ilmuwan Muslim


Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.


Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam

Syeikhur Rais, Abu Ali Husein bin Abdillah bin Hasan bin Ali bin Sina, yang dikenal dengan sebutan Ibnu Sina atau Aviciena lahir pada tahun 370 hijriyah di sebuah desa bernama Khormeisan dekat Bukhara. Sejak masa kanak-kanak, Ibnu Sina yang berasal dari keluarga bermadzhab Ismailiyah sudah akrab dengan pembahasan ilmiah terutama yang disampaikan oleh ayahnya. Kecerdasannya yang sangat tinggi membuatnya sangat menonjol sehingga salah seorang guru menasehati ayahnya agar Ibnu Sina tidak terjun ke dalam pekerjaan apapun selain belajar dan menimba ilmu.

Dengan demikian, Ibnu Sina secara penuh memberikan perhatiannya kepada aktivitas keilmuan. Kejeniusannya membuat ia cepat menguasai banyak ilmu, dan meski masih berusia muda, beliau sudah mahir dalam bidang kedokteran. Beliau pun menjadi terkenal, sehingga Raja Bukhara Nuh bin Mansur yang memerintah antara tahun 366 hingga 387 hijriyah saat jatuh sakit memanggil Ibnu Sina untuk merawat dan mengobatinya.
Berkat itu, Ibnu Sina dapat leluasa masuk ke perpustakaan istana Samani yang besar. Ibnu Sina mengenai perpustakan itu mengatakan demikian;
“Semua buku yang aku inginkan ada di situ. Bahkan aku menemukan banyak buku yang kebanyakan orang bahkan tak pernah mengetahui namanya. Aku sendiri pun belum pernah melihatnya dan tidak akan pernah melihatnya lagi. Karena itu aku dengan giat membaca kitab-kitab itu dan semaksimal mungkin memanfaatkannya... Ketika usiaku menginjak 18 tahun, aku telah berhasil menyelesaikan semua bidang ilmu.” Ibnu Sina menguasai berbagai ilmu seperti hikmah, mantiq, dan matematika dengan berbagai cabangnya.

Kesibukannya di pentas politik di istana Mansur, raja dinasti Samani, juga kedudukannya sebagai menteri di pemerintahan Abu Tahir Syamsud Daulah Deilami dan konflik politik yang terjadi akibat perebutan kekuasaan antara kelompok bangsawan, tidak mengurangi aktivitas keilmuan Ibnu Sina. Bahkan safari panjangnya ke berbagai penjuru dan penahanannya selama beberapa bulan di penjara Tajul Muk, penguasa Hamedan, tak menghalangi beliau untuk melahirkan ratusan jilid karya ilmiah dan risalah.

Ketika berada di istana dan hidup tenang serta dapat dengan mudah memperoleh buku yang diinginkan, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menulis kitab Qanun dalam ilmu kedokteran atau menulis ensiklopedia filsafatnya yang dibeni nama kitab Al-Syifa’. Namun ketika harus bepergian beliau menulis buku-buku kecil yang disebut dengan risalah. Saat berada di dalam penjara, Ibnu Sina menyibukkan diri dengan menggubah bait-bait syair, atau menulis perenungan agamanya dengan metode yang indah.
Di antara buku-buku dan risalah yang ditulis oleh Ibnu Sina, kitab al-Syifa’ dalam filsafat dan Al-Qanun dalam ilmu kedokteran dikenal sepanjang massa. Al-Syifa’ ditulis dalam 18 jilid yang membahas ilmu filsafat, mantiq, matematika, ilmu alam dan ilahiyyat. Mantiq al-Syifa’ saat ini dikenal sebagai buku yang paling otentik dalam ilmu mantiq islami, sementara pembahasan ilmu alam dan ilahiyyat dari kitab al-Syifa’ sampai saat ini juga masih menjadi bahan telaah.

Dalam ilmu kedokteran, kitab Al-Qanun tulisan Ibnu Sina selama beberapa abad menjadi kitab rujukan utama dan paling otentik. Kitab ini mengupas kaedah-kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan berbagai macam penyakit. Seiring dengan kebangkitan gerakan penerjemahan pada abad ke-12 masehi kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kini buku tersebut juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis dan Jerman. Al-Qanun adalah kitab kumpulan metode pengobatan purba dan metode pengobatan Islam. Kitab ini pernah menjadi kurikulum pendidikan kedokteran di universitas-universitas Eropa.

Ibnu juga memiliki peran besar dalam mengembangkan berbagai bidang keilmuan. Beliau menerjemahkan karya Aqlides dan menjalankan observatorium untuk ilmu perbintangan. Dalam masalah energi Ibnu Sina memberikan hasil penelitiannya akan masalah ruangan hampa, cahaya dan panas kepada khazanah keilmuan dunia.

Dikatakan bahwa Ibnu Sina memiliki karya tulis yang dalam bahasa latin berjudul De Conglutineation Lagibum. Dalam salah bab karya tulis ini, Ibnu Sina membahas tentang asal nama gunung-gunung. Pembahasan ini sungguh menarik. Di sana Ibnu Sina mengatakan, “Kemungkinan gunung tercipta karena dua penyebab. Pertama menggelembungnya kulit luar bumi dan ini terjadi lantaran goncangan hebat gempa. Kedua karena proses air yang mencari jalan untuk mengalir. Proses mengakibatkan munculnya lembah-lembah bersama dan melahirkan penggelembungan pada permukaan bumi. Sebab sebagian permukaan bumi keras dan sebagian lagi lunak. Angin juga berperan dengan meniup sebagian dan meninggalkan sebagian pada tempatnya. Ini adalah penyebab munculnya gundukan di kulit luar bumi.”

Ibnu Sina dengan kekuatan logikanya -sehingga dalam banyak hal mengikuti teori matematika bahkan dalam kedokteran dan proses pengobatan- dikenal pula sebagai filosof tak tertandingi. Menurutnya, seseorang baru diakui sebagai ilmuan, jika ia menguasai filsafat secara sempurna. Ibnu Sina sangat cermat dalam mempelajari pandangan-pandangan Aristoteles di bidang filsafat. Ketika menceritakan pengalamannya mempelajari pemikiran Aristoteles, Ibnu Sina mengaku bahwa beliau membaca kitab Metafisika karya Aristoteles sebanyak 40 kali. Beliau menguasai maksud dari kitab itu secara sempurna setelah membaca syarah atau penjelasan ‘metafisika Aristoteles’ yang ditulis oleh Farabi, filosof muslim sebelumnya.

Dalam filsafat, kehidupan Abu Ali Ibnu Sina mengalami dua periode yang penting. Periode pertama adalah periode ketika beliau mengikuti faham filsafat paripatetik. Pada periode ini, Ibnu Sina dikenal sebagai penerjemah pemikiran Aristoteles. Periode kedua adalah periode ketika Ibnu Sina menarik diri dari faham paripatetik dan seperti yang dikatakannya sendiri cenderung kepada pemikiran iluminasi.

Berkat telaah dan studi filsafat yang dilakukan para filosof sebelumnya semisal Al-Kindi dan Farabi, Ibnu Sina berhasil menyusun sistem filsafat islam yang terkoordinasi dengan rapi. Pekerjaan besar yang dilakukan Ibnu Sina adalah menjawab berbagai persoalan filsafat yang tak terjawab sebelumnya.

Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah Eropa. Albertos Magnus, ilmuan asal Jerman dari aliran Dominique yang hidup antara tahun 1200-1280 Masehi adalah orang Eropa pertama yang menulis penjelasan lengkap tentang filsafat Aristoteles. Ia dikenal sebagai perintis utama pemikiran Aristoteles Kristen. Dia lah yang mengawinkan dunia Kristen dengan pemikiran Aristoteles. Dia mengenal pandangan dan pemikiran filosof besar Yunani itu dari buku-buku Ibnu Sina. Filsafat metafisika Ibnu Sina adalah ringkasan dari tema-tema filosofis yang kebenarannya diakui dua abad setelahnya oleh para pemikir Barat.

Diantara karangan - karangan Ibnu Sina adalah :
1.     As- Syifa’ ( The Book of Recovery or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18 jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London. Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya (1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
1.1 Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair) meliputi dasar karangan Aristoteles tentang logika dengan dimasukkan segala materi dari penulis - penulis Yunani kemudiannya.
1.2 Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan). Bagian - bagian Fisika meliputi kosmologi, meteorologi, udara, waktu, kekosongan dan gambaran).
1.3 Matematika. Bagian matematika mengandung pandangan yang berpusat dari elemen - elemen Euclid, garis besar dari Almagest-nya Ptolemy, dan ikhtisar - ikhtisar tentang aritmetika dan ilmu musik.
1.4 Metafisika. Bagian falsafah, poko pikiran Ibnu sina menggabungkan pendapat Aristoteles dengan elemen - elemennya Neo Platonic dan menyusun dasar percobaan untuk menyesuaikan ide-ide Yunani dengan kepercayaan - kepercayaan.
Dalam zaman pertengahan Eropa, buku ini menjadi standar pelajaran filsafat di pelbagai sekolah tinggi.

2.     Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.

3.   Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).

4.     Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.

5.     Al-Musiqa. Buku tentang musik.

6.     Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.

7.     Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.Danesh Namesh. Buku filsafat.

8.     Danesh Nameh. Buku filsafat.

9.     Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.

10.  Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar - dasar ilmu logika secara lengkap.

11.  Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur (Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini telah hilang).

12.  Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.

13.  Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat.

14.  Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil - dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan Keagamaan.

15.  An-Najah, (buku tentang kebahagiaan Jiwa)

16.  dan sebagainya.

Dari autobiografi dan karangan - karangannya dapat diketahui data tentang sifat - sifat kepribadianhya, misalnya :
1.     Mengagumi dirinya sendiri
Kekagumannya akan dirinya ini diceritakan oleh temannya sendiri yakni Abu Ubaid al-Jurjani. Antara lain dari ucapan Ibnu Sina sendiri, ketika aku berumur 10 tahun aku telah hafal Al-Qur’an dan sebagian besar kesusateraan hinga aku dikagumi.

2.     Mandiri dalam pemikiran
Sifat ini punya hubungan erat sudah nampak pada Ibnu Sina sejak masa kecil. Terbukti dengan ucapannya “Bapakku dipandang penganut madzhab Syi’ah Ismailiah. Demikian juga saudaraku. Aku dengar mereka menyebutnya tentang jiwa dan akal, mereka mendiskusikan tentang jiwa dan akal menurut pandangan mereka. Aku mendengarkan, memahami diskusi ini, tetapi jiwaku tak dapat menerima pandangan mereka”.

3.     Menghayati agama, tetapi belum ke tingkat zuhud dan wara’.
Kata Ibnu Sina, setiap argumentasi kuperhatikan muqaddimah qiyasiyahnya setepat - tepatnya, juga kuperhatikan kemungkinan kesimpulannya. Kupelihara syarat - syarat muqaddimahnya, sampai aku yakin kebenaran masalah itu. Bilamana aku bingung tidak berhasil kepada kesimpulan pada analogi itu, akupun pergi sembahyang menghadap maha Pencipta, sampai dibukakan-Nya kesulitan dan dimudahkan-Nya kesukaran.

4.     Rajin mencari ilmu, keterangan beliau “saya tenggelam dalam studi ilmu dan membaca selama satu setengah tahun. Aku tekun studi bidang logika dan filsafat, saya tidak tidur satu malam suntuk selama itu. Sedang siang hari saya tidak sibuk dengan hal - hal lainnya”

5.     Pendendam. Dia meredam dendam itu dalam dirinya terhadap orang yang menyinggung perasaannya. Dia hormat bila dihormati.

6.     Cepat melahirkan karangan
Ibnu Sina dengan cepat memusatkan pikirannya dan mendapatkan garis - garis besar dari isi pikirannya serta dia dengan mudah melahirkannya kepada orang lain. Menuangkan isi pikiran dengan memilih kalimat/ kata-kata yang tepat, amat mudah bagi dia. Semua itu berkat pembiasaan, kesungguhan dan latihan dan kedisiplinan yang dilakukannya.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan nama Avicena (Spanyol aven Sina) dan kemasyhurannya di dunia Barat sebagai dokter melampaui kemasyhuran sebagai Filosof, sehingga ia mereka beri gelar “the Prince of the Physicians”. Di dunia Islam ia dikenal dengan nama Al-Syaikh- al-Rais. Pemimpin utama (dari filosof - filosof).

Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi baginya minum – minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum – minuman keras dilarang karena bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.

Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal, al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak akan minum – minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan dan obat.

Kehidupan Ibnu Sina penuh dengan aktifitas -aktifitas kerja keras. Waktunya dihabiskan untuk urusan negara dan menulis, sehingga ia mempunyai sakit maag yang tidak dapat terobati. Di usia 58 tahun (428 H / 1037 M) Ibnu Sina meninggal dan dikuburkan di Hamazan. . Beliau pergi setelah menyumbangkan banyak hal kepada khazanah keilmuan umat manusia dan namanya akan selalu dikenang sepanjang sejarah. Ibnu Sina adalah contoh dari peradaban besar Iran di zamannya.

Ditulis dari berbagai sumber.

Kiai Hasan Basri Said

Kiai Hasan Basri Said
Siapa Bilang Orang Pesantren Tak Bisa Mencipta Teknologi Tinggi
Kamis, 04/01/2007 19:00
GELAR akademis yang sekarang ini dikejar-kejar banyak orang sekolahan ternyata tidak penting bagi Kiai Hasan Basri Said (71), salah seorang kiai yang hingga kini tetap setia mengamati pergerakan benda-benda langit; menggeluti disiplin keilmuan paling unik di pesantren, ilmu falak. Bagi Kiai Hasan Basri, model pendidikan yang berorientasi pada gelar itu tidak akan memberikan kebanggaan apa-apa.
Ilmu yang berorientasi pada gelar dan kelulusan tidak akan bisa dinikmati sebagai ilmu itu sendiri karena pastinya tidak akan ada inovasi; tidak ada penemuan baru. Lihat bagaimana orang sekolahan hanya berputar-putar pada pakem dan target materi yang sudah baku. Lalu lihat bagaimana para sarjana yang hanya bersibuk dengan urusan teknis: bagaimana ilmunya bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan penghidupan, mencari dan memperbanyak uang. Bukankan seharusnya sebuah ilmu itu mandiri dan tidak goyak oleh apapun jua, apalagi sekedar uang. Biarkan ilmu itu terus berkembang untuk mencapai suatu peradaban yang setinggi-tingginya.
Dengan bangga Kiai Hasan Basri menunjukkan satu alat teropong bintang yang diciptakannya sendiri, yang mampu mengukur dan mengamati gerak gerik benda langit, juga untuk mengukur arah kiblat. Alat itu terbuat dari rangkaian pipa, termasuk pipa pengintip, dilengkapi dengan penggaris bulat, kompas, benang dan bandulan kecil.
Jika anda melihat dan coba memakai alat itu pasti kesan bahwa orang Indonesia, lebih-lebih orang pesantren, banya bisa memakai dan mengkonsumsi teknologi yang diciptakan oleh Barat itu akan hilang seketika. Sebenarnya kita bisa mencapai peradaban teknologi tinggi seperti Barat namun kita atau pemerintah kita enggan mencobanya. Kita hanya senang mengkonsumsi. Bisa dibayangkan, seharusnya kita tidak butuh waktu lama untuk merubah alat sederhana buatan Kiai hasan Basri menjadi alat modern yang terbuat dari bahan yang lebih awet. Namun proses panjang sebuah keilmuan –dalam hal ini—ilmu falak sehingga mampu menciptakan teropong bintang itu ternyata sudah terlampaui oleh orang-orang pesantren, paling tidak oleh Kiai Hasan Basri.
Maka, hal terpenting ketika seorang mengaku telah ”belajar”, kata Kiai Hasan Basri, adalah bagaimana berperan dalam masyarakat melalui ilmu yang didapat. Ini yang seharusnya dibanggakan. Jadi orang kemudian tidak sekedar mentereng hanya gara-gara bergelar tinggi tapi bagaimana ”hasil belajarnya” dapat berefek kepada dalam kehidupan masyarakat sekitarnya.
Apa boleh buat. Saat ini orang belajar hanya untuk mencari gelar. Ilmu itu sendiri tidak berarti apa-apa. Lebih-lebih disiplin keilmuan yang dikejar-kejar oleh orang-orang sekolahan hanyalah yang dibutuhkan untuk kepentingan mencari pekerjaan, bukan ilmu yang penting dikembangkan untuk mencapai peradaban tinggi. Ilmu falak atau ilmu astronomi misalnya tidak akan banyak peminat karena tidak menjanjikan pekerjaan yang mentereng, posisi terhormat, atau uang banyak.
Kiai Hasan Basri Said lahir pada 1935 di sebuah kota kecil di daerah Gresik, Jawa Timur. Sejak kecil ia belajar di satu madrasah di daerahnya. Lalu setelah merasa cukup usia ia beranjak ke pesantren Gontor Ponorogo. Di sana dia berdiam selama 6 tahun. Hasan Basri Muda pernah tiga kali menempuh pendidikan tinggi namun tidak pernah lebih dari satu semester. Ia pernah belajar di UII Yogyakarta, lalu ke Kedokteran UNAIR 1 semester, dan lalu ke kedokteran hewan Universitas Brawijaya Malang 1 semester. ”Saya nggeri kalau harus praktek dengan membedah babi,” katanya. Baginya belajar di kampus memang tidak perlu menyita waktu terlalu lama. Setelah merasa cukup mengenyam dunia kampus, ia merantau ke pulau Kalimantan.
Kiai Hasan Basri pernah menjadi sukarelawan di satu klinik yang didirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) di daerah Gresik. Klinik itu ada mula-mula sebelum kemudian organisasi Islam Muhammadiyah dan yang lainnya juga mendidikan layanan kesehatan di sana. Lalu ia pindah menggeluti dunia koperasi hingga kini. Gaji yang diterimanya dari kantor koperasi lumayan untuk membiayai tiga orang anaknya yang sukarang sudah beranjak besar. Namun di tengah aktivitas apapun, satu yang tidak pernah dia lupakan adalah bahwa dia seorang pecinta ilmu falak.
Dia belajar ilmu falak sejak kecil. Ia pernah belajar kepada Kiai Romli Hasan, seorang pakar ilmu falak di daerah Gresik. Lalu ke daerah Bangil menemui Kiai Mu’thi dan belajar ilmu falak kepadanya. Namun setelah beranjak dewasa semangat untuk menggeluti ilmu falak itu entah kenapa mengendur. Semangat untuk mendalami ilmu falak itu kembali menggebu-gebu pada usianya yang ke-33 tahun, setelah mendapat dorongan dari istri tercinta Marsyadul Ilmi yang 15 tahun lebih muda darinya.
Waktu itu warga daerah setempat membutuhkan seseorang yang bisa mengukur arah kiblat. Kiai Hasan Basri seakan tidak mau tahu. Istrinya yang tahu kemampuan suaminya langsung bergumam, ” Ilmu dari Tuhan, kalau Bapak tidak manfaatkan maka bapak berdosa.” Dorongan istrinya inilah yang membuatnya bersemangat untuk terus menggeluti ilmu falak. Dia tidak ingin menyembunyikan ilmu Tuhan. Lagi pula, istrinya selalu memberikan dukungan agar Kiai Hasan Basri terus mengabdikan dirinya pada ilmu falak. ”Dia rela saya tinggal satu minggu, karena tahu bukan untuk pribadi saya,” kata Kiai Hasan Basri. Patokannya, katanya, ilmu itu tidak untuk dijual, jadi bisa dinikmati dan terus digeluti. (A Khoirul Anam)

TAUFIQUL HAKIM

TAUFIQUL HAKIM
Penemu Metode Cepat Belajar Kitab Kuning

Siapa sih yang tidak ingin bisa memahami tulisan-tulisan berbahasa Arab secara baik dan benar? Tidak ada yang bisa meragu, kitab suci Al-Qur’an dan teks-teks hadits Nabi serta sebagian besar khasanah keislaman disuguhkan dengan bahasa dan tulisan Arab. Ada yang berlebihan bahkan menyebut bahasa Arab sebagai bahasa surga. Akan tetapi melihat huruf-huruf yang kelihatan ruwet dalam kitab-kitab kuning atau kitab gundul itu orang menjadi ngeri. Yang menakutkan lagi, jika orang ingin bisa berbahasa Arab harus mengeram berlama-lama di pesantren, sampai tua dan tidak sempat menikah. Orang harus belajar ilmu nahwu, memutar-mutar harakat sampai ngelu; harus belajar ilmu sharaf yang menegangkan saraf, satu kata dibolak-balik menjadi puluhan kata, puluhan makna. Banyak yang ketakutan bahwa bahasa Arab adalah bahasa tersulit di dunia.gt;
Hal itulah yang menginspirasi Taufiqul Hakim, seorang kiai muda usia, untuk menyusun metode pembelajaran kitab kuning secara cepat, tepat, dan menyenangkan. Metode itu diberi nama ”Amtsilati” yang terinspirasi dari metode belajar cepat membaca Al-Quran, yakni ”Qiro'ati”. Jika dalam metode Qiro'ati orang bisa belajar membaca Al-Qur’an dengan cepat, maka dengan metode Amtsilati orang akan dapat membaca dan memahami kitab ‘gundul’ kitab tanpa harakat, kenapa tidak!!
“Terdorong dari metode Qiro'ati yang mengupas cara membaca yang ada harokatnya, saya ingin menulis yang bisa digunakan untuk membaca yang tidak ada harokatnya. Terbetiklah nama Amtsilati yang berarti beberapa contoh dari saya yang sesuai dengan akhiran "ti" dari Qiro'ati. Mulai tanggal 27 Rajab 2001, saya merenung dan bermujahadah, dimana dalam thoriqoh ada do'a khusus, yang jika orang secara ikhlas melaksanakannya, insya Allah akan diberi jalan keluar dari masalah apapun oleh Allah dalam jangka waktu kurang dari 4 hari. Setiap hari saya lakukan mujahadah terus-terusan sampai tanggal 17 Ramadhan yang bertepatan dengan Nuzulul Qur'an,” katanya.
”Saat mujahadah, kadang saya ke makam Mbah Ahmad Mutamakin. Di situ kadang seakan-akan berjumpa dengan Syekh Muhammad Baha'uddin An-Naqsyabandiyyah, Syekh Ahmad Mutammakin dan Ibnu Malik dalam keadaan setengah tidur dan setengah sadar. Hari itu seakan-akan ada dorongan kuat untuk menulis. Siang malam saya ikuti dorongan tersebut dan akhirnya tanggal 27 Ramadlan selesailah penulisan Amtsilati dalam bentuk tulisan tangan. Amtsilati tetulis hanya sepuluh hari.”
”Kemudian diketik komputer oleh Bapak Nur Shubki, kang Toni dan kang Marno. Proses pengetikan mulai dari Khulashoh sampai Amtsilati memakan waktu hampir 1 tahun. Kemudian dicetak sebanyak 300 set. Sebagai follow up terciptanya Amtsilati, kami gelar bedah buku di gedung Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Jepara, tanggal 16 juni 2002 diprakarsai Bapak Nur Kholis. Sehingga timbullah tanggapan dari peserta yang pro dan kontra.”
Diceritakan, Salah satu dari peserta bedah buku di Jepara kebetulan mempunyai kakak di Mojokerto yang menjadi pengasuh Pesantren. Beliau bernama KH. Hafidz pengasuh pondok pesantren "Manba'ul Qur'an". Beliau berinisiatif untuk menyelenggarakan pengenalan sistem cepat baca kitab kuning Metode Amtsilati, tanggal 30 Juni 2002. untuk acara tersebut Bapak H. Syauqi Fadli sebagai donatur, menyarankan agar dicetak 1000 set buku Amtsilati dan sekaligus untuk acara Hubbur Rosul di Ngabul Jepara.
Dari Mojokertolah dukungan mengalir sampai ke beberapa daerah di Jawa Timur melalui forum yang digelar oleh Universitas Darul Ulum (UNDAR) Jombang, Jember, dan Pamekasan Madura. Sampai saat ini Amtsilati telah tersebar ke pelosok Jawa, bahkan sudah sampai ke luar Jawa, seperti Kalimantan, Batam dan Alhamdulillah telah dikenal di luar negeri, seperti Malaysia. Dalam waktu 4 tahun kitab amtsilati sudah diterbitkan tidak kurang dari 5 juta exemplar.
Kitab Amtsilati pertama kali digandakan dengan mesin foto copy. Hasil penjualannya dipakai untuk menggandakan Amtsilati di mesin percetakan. Kemudian, hasil penjualan selanjutnya digunakan untuk membeli mesin cetak sendiri. Setiap kali cetak sejumlah 5000 ekslempar. Pegawai percetakan adalah masyarakat sekitar, termasuk ibu-ibu rumah tangga.
***
Taufiqul Hakim lahir pada 14 Juni 1975 di Sidorejo RT. 03 RW. 12 Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Dia adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara. Dia bukan keterunan kiai atau bangsawan. Ayah dan ibunya hanya petani. Dari tujuh bersaudara hanya dia yang berprofesi sebagai seorang guru, dan saat ini dia dikenal sebagai kiai. Hal yang paling disesalinya adalah ketika ayahnya meninggal, dia tidak sempat ikut mengantarkan jenazah ayahnya karena harus menyelesaikan tugas belajar.
Dia adalah alumnus Perguruan Islam Matholiul Falah Kajen Pati. Ketika menjadi siswa di Matholiul Falah, dia juga nyantri di Pondok Pesantren Maslakhul Huda Kajen, yang diasuh oleh Rais "am PBNU KH. MA. Sahal Mahfudh. Pada tahun yang sama dia nyantri di Popongan Klaten, belajar Thariqah an-Nagsabandiyah dibimbing oleh KH. Salman Dahlawi, dan dinyatakan lulus setelah belajar selama 100 hari.
Selain sibuk mengajar dan mengisi pelatihan-pelatihan Amtsilati di berbagai kota di Indonesia dia juga tetap produktif menulis. Di antara karyanya adalah Program Pemula Membaca Kitab Kuning: Amtsilati jilid 1-5; Qaidati: Rumus dan Qaidah, Shorfiyah: Metode Praktis Memahami Sharaf dan I’lâl, Tatimmah: Praktek Penerapan Rumus 1-2, Khulashah Alfiyah Ibnu Malik, ‘Aqidati: Aqidah Tauhid, Syari’ati: Fiqih, Mukhtarul Hadits 1-7, Muhadatsah, Kamus At-Taufik 587 halaman, Fiqih Muamalah 1-2, Fiqih Jinayat, Fikih Taharah, Fikih Munakahat, Fikih Ubudiyah 1-2, dan beberapa kitab lainnya. Sudah ada sekitar 30 buku, dan masih terus menulis. “Di mana saja menulis, di mobil, di mana saja menulis. Kalau ada mud menulis, kalo tidak, ya tidak,” katanya.
Pesantren Darul Falah yang dipimpinnya kini membimbing tidak kurang dari 650 santri. Santri Darul Falah ada dua kategori: santri tetap dan santri kilatan. Santri tetap harus mengikuti semua aturan yang ada dalam program Amtsilati, sementara santri kilatan tidak diwajibkan banyak hafalan. Masa belajar bagi santri kilatan antara 1 minggu s.d. dua bulan saja.
Nama Al-Falah diambil dari nama pesantren Matholiul Falah, tempat dia pernah menjadi santri. Secara tidak resmi, Darul Falah ada sejak Taufiqul Hakim lulus dari Pesantren. Secara resmi, Darul Falah didaftarkan ke Notaris (Bapak H. Zainurrohman, S.H. Jepara) tanggal 01 Mei 2002 dengan nomor registrasi 02.
***
Awalnya Tufiqul hakim menyimpulkan bahwa ternyata tidak semua nadzam atau syair dalam kitab Alfiyah yang disebut-sebut sebagai babonnya gramatikal arab itu tidak semuanya digunakan dalam praktek membaca kitab kuning. Dia menyimpulkan bahwa dari 1000 nazham Alfiyah yang terpenting hanya berjumlah sekitar 100 sampai 200 bait, sementara nazham lainnya sekedar penyempurna. Dengan bekal hafalan dan pemahamannya terhadap kitab Alfiyah, dia mulai menyusun metode Amtsilati. Penyusunan tersebut dia mulai dari peletakan dasar-dasarnya kemudian terus berkembang sesuai kebutuhan.
Amtsilati memberi rumusan berpikir untuk memahami bahasa Arab. Di sana ada rumusan sistematis untuk mengetahui bentuk atau posisi satu kata tertentu. Hal ini dapat dilihat pada rumus utama isim dan fi’il atau tabel. Lalu juga ada rumus bayangan dhamīr untuk mengetahui jenis atau kata tertentu; penyaringan melalui dzauq (sensitivitas) dan siyāqul kalām (konteks kalimat).
Sebelum memasuki praktek, Amtsilati telah memberi rambu-rambu mengenai kata-kata yang serupa tapi tak sama (homonimi: homografi, homofoni). Kata-kata yang serupa ini bisa terjadi dari beberapa kemungkinan: isim; fi’il mādhi; fi’il mudhāri’; fi’il amar; isim fi’il; huruf; dhamīr; isyrāh; maushūl; dan lainnya. Rumus selengkapnya terangkum dalam buku Tatimmah 1 hal. 3-7, 10, 12, 15-34.
Kelebihan Amtsilati adalah peletakan rumus secara sitematis, dan penyelesaian masalah gramatikal Bahasa Arab melalui penyaringan dan pentarjihan. Selain itu, rumus yang pernah dipelajari diikat dengan hafalan yang terangkum dalam dua buku khusus, yaitu "Rumus Qaidati" dan "Khulashah Alfiyah". Diharapkan, para pemula tidak perlu bersusah-susah mempelajari bahasa Arab selama 3 sampai 9 tahun; cukup 3 sampai 6 bulan saja.
Abdul Rosyid
Ketua Forum Mahasiswa Alumni Pesantren Lirboyo (FORMAL)
Tulisan ini diambil dari skripsi penulis berjudul "Metode Amtsilati dalam Proses Penerjemahan: Studi Analisis Buku ‘Program Pemula Membaca Kitab Kuning’, Karya H. Taufiqul Hakim" di Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. (nam)

AHMAD AL-HADI

AHMAD AL-HADI
Pendiri NU Pertama di Bali

Lahir pada tahun 1899 dari pasangan Kyai Dahlan Falak dan Nyai Ummu Kulsum Semarang dengan nama Ahmad. Semasa nyantri di Jamsaren, Kyai Idris Jamsaren memberikan julukan "al-Hadi" kepadanya sehingga ia pun dikenal dengan nama Ahmad al-Hadi. Disamping belajar kepada Kyai Idris, Ahmad muda juga pernah menuntut ilmu kepada sejumlah ulama besar tanah Jawa seperti Kyai Umar Sarang, Kyai Abdullah Termas, Kyai Khalil Bangkalan, Tuan Syeikh Jembrana [Bali] dan Kyai Hasyim Asy`ari. Ahmad al-Hadi juga pernah beberapa tahun menuntut ilmu di kota Mekkah sebelum akhirnya pulang ke Indonesia setelah Hijaz mengalami kekacauan besar akibat meletusnya revolusi Wahabi. <;br />
Mendirikan Pesantren dan Madrasah

Pada tahun 1929, Ahmad al-Hadi hendak kembali nyantri kepada Tuan Syeikh di kampung Timur Sungai Kabupaten Jembrana Provinsi Bali. Namun sesampainya di kampung Timur Sungai, Tuan Syaikh yang dicarinya telah meninggal dunia. Akibatnya, kampung timur sungai mengalami masa vakum [masa masyarakat tidak memiliki figur ulama]. Seorang bangsawan Melayu, Datuk Hasan Kaya, mengangkatnya menjadi anak dan bermaksud menjadikannya sebagai figur pengganti Tuan Syeikh.
Setelah diangkat menjadi anak oleh Datuk Hasan Kaya, sang ayah pun memintanya menetap di Kampung Timur Sungai. Ia dipinta untuk mengajarkan ilmu agama di Masjid Bait al-Qadim. Sementara segala kebutuhan hidupnya disokong sepenuhnya oleh ayah angkatnya. Mulai saat itulah Ahmad al-Hadi menjadi penduduk Loloan yang mayoritas bersuku Bugis-Melayu dan berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam dunia pendidikan. Di masanya, Ia lebih populer dengan nama Ustadz Semarang.
Setelah setahun bermukim di kampung Timur Sungai, tepatnya pada 11 Agustus 1930, Ahmad al-Hadi mendirikan pondok pesantren Semarang [kini pondok pesantren Manba'ul Ulum]. Sebelum berdirinya pondok pesantren Semareang, sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja mengandalkan sistem pendidikan tradisional Langgar atau Surau. Namun setelah kedatangan Ahmad al-Hadi, sistem pondok pun segera di perkenalkan. Para santri disediakan tempat pemukiman di lingkungan pesantren dan dilatih untuk mempraktekkan ilmu yang mereka peroleh ke dalam kehidupan sehari-hari mereka di pesantren.
Di tahun yang sama, Ahmad al-Hadi juga memperkenalkan sistem pendidikan klasikal Islam "madrasah"  kepada masyarakat muslim Jembrana. Disamping untuk memfasilitasi kebutuhan umat Islam akan pendidikan agama, pendirian madrasah juga ditujukan untuk mengkader generasi bangsa yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme Hindia Belanda. Para santri dan murid-murid madrasah tidak diperkenankan untuk menggunakan pakaian, atribut, ataupun alat-alat musik yang sering digunakan oleh Belanda.
Datuk Haji Imran, santri senior yang kelak menjadi menantu Ahmad al-Hadi dan pendiri pondok pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya,  tercatat sebagai seorang tokoh pemuda [sebutan untuk pejuang kemerdekaan] yang gigih melawan kolonialisme Belanda. Peran penting yang dimainkannya sebagai penghubung gerakan perjuangan kemerdekaan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur membuat Datuk Haji Imran menjadi  tokoh yang paling dicari oleh pasukan NICA (pemerintah sementara Belanda).
Mengajarkan Agama dengan Syair Melayu
Walaupun berasal dari suku Jawa, namun kepedulian dan penghargaan Ahmad al-Hadi terhadap kebudayaan masyarakat Bugis-Melayu Bali, tempat ia tinggal. Setiap kali mengajar, ia tidak pernah menggunakan bahasa Jawa, namun selalu menggunakan bahasa Melayu. Ia juga rajin menggubah syair-syair nasihat yang ditujukan untuk mendidik santri agar memiliki akhlak yang mulia.
Disamping syair-syair nasihat Ahmad al-Hadi juga menggubah dasar  dari beberapa cabang ilmu agama yang diperolehnya dari kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam syair-syair Melayu. Semua usahanya ini ditujukan untuk mempermudah para santri yang mayoritas awam akan bahasa Arab dapat memahami ajaran-ajaran Islam dengan mudah. Bahkan tradisi belajar sambil bersyair ini kemudian terus diwariskan di daerah Jembrana dan juga diajarkan oleh para alumni yang mengajar di sejumlah kabupaten di Bali.

Gubahan sya'irnya yang paling banyak dihafal adalah pengajaran Tajwid dengan pendekatan "Talaqi" [dialog murid-guru]. Setiap guru bertanya, sang murid harus menjawab dengan syair yang berisi jumlah huruf yang memiliki status hukum tertentu dalam tajwid. Sebagai ilustrasi, dalam kasus idgham bila ghunnah, murid harus bisa menjawab pertanyaan guru tentang hukum "idgham bila ghunnah" dan menyebutkan syair berikut: "Idgham yang tidak ghunnah hurufnya : Cuma lah dua lam ra' namanya".
Di luar disiplin tajwid, Ahmad al-Hadi juga menggubah syair yang mengajarkan ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Ada juga syair "Taubat" yang digunakan sebagai pembuka kegiatan "Taubat Nasuha" yang dilakukan oleh "Jama'ah al-Ikhlas", jama'ah yang didirikannya dan memiliki prosedur pengangkatan bai'at sebagaimana laiknya prosedur umum yang ada di dunia tarekat. Konon Ijazah Jama`ah al-Ikhlas ini diterimanya oleh Syeikh Hafidz Yamani.
Sedangkan syair-syair yang diperuntukkan kepada generasi muda, pada  umumnya mengambil tema seputar etika bergaul remaja serta menumbuhkan rasa cinta dan kesetiaan terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Syayang, kriteria syair-syair yang membahas tema ini sudah tidak banyak dikenal lagi kecuali hanya oleh santri yang pernah menimba ilmu secara langsung kepadanya.
Pendiri NU Pertama di Pulau Bali
Pada tahun 1933 Jembrana dijadikan target penyebaran faham Islam puritan pertama di Bali. Gerakan keagamaan yang mengatasnamakan purifikasi agama ini  mengkampanyekan pembersihan agama dari Takhayyul, Bid'ah dan Khurafat serta menghujat  praktik bermadzhab di kalangan umat Islam, sebuah gerakan yang meresahkan kehidupan masyarakat muslim di Jembrana.
Hal ini menyebabkan Ahmad al-Hadi tidak bisa tinggal diam. Ia maju untuk mempertahankan tradisi keagamaan umat Islam di Jembrana yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Ia menantang untuk melakukan debat terbuka terhadap siapapun yang berani mengutak-atik dan menyerang tradisi keagamaan yang disebutnya sebagai faham Ahlussunah wal Jama'ah. Bahkan untuk menjawab kecaman kelompok puritan terhadap praktek bermadzhab, Ahmad al-Hadi malah menunjukkan mewajibkan penggunaan "awik" atau cadar kepada semua santri dan murid perempuannya sebagai bukti kesetiaannya terhadap madzhab Syafi'i.
Namun untuk melawan gerakan Islam puritan yang terorganisir dengan baik tidak cukup hanya dengan perlawanan personal. Harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari serangan kelompok-kelompok Islam lain. Hal inilah yang menyebabkan Kyai Wahab Hasbullah [di]datang[kan] ke Bali pada tahun 1934. Dengan hanya mengendarai Jukong, Kyai Wahab Hasbullah menyeberangi selat Bali dan mendarat di pelabuhan Jembrana [waktu itu pelabuhan yang menghubungkan pulau Jawa dan pulau Bali terletak di daerah Cupel].
Setelah beristirahat sejenak di Cupel, Kyai Wahab melanjutkan perjalanan menuju kampung Timur Sungai. Disamping Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kyai Wahab mengenalkan NU kepada para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam Kesempatan itu Kyai Wahab berpidato: “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, Saya ingin menjajakan saya punya obat kepada tuan-tuan, jika cocok alhamdulillah jika tidak cocok tidak apa-apa” [obat yang dimaksud adalah Nahdhatul Ulama].
Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi tanya-jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran Islam tradisional yang hidup di Jembrana dengan ideologi Ahlussunnah wal Jama'ah NU. Oleh karena itu, diplomasi Kyai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat setempat untuk bergabung ke dalam NU.
Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan memiliki struktur keorganisasian yang jelas. Sementara Ahmad al-Hadi segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais `Am Cabang NU Jembrana yang sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah kepemimpinannya, Gerakan NU di Jembrana segera mendirikan sejumlah madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana. Walhasil, pada masa ini NU berhasil mendirikan madrasah di kampung Barat Sungai, Cupel dan Tukadaya sedangkan di kampung Timur Sungai sendiri telah berdiri madrasah yang beliau dirikan sebelum terbentuknya NU.
Namun setelah NU menjadi parpol, Kepemimpinan NU diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, antara lain: Ustadz Ali Bafaqih [pengasuh pondok pesantren Darul Huda Loloan Barat], Datuk Guru Nuh dan Datuk Haji Abdurrahman [Pengasuh Pesantren Darut Ta'lim Loloan Barat]. Sementara Ahmad al-Hadi sendiri segera menjauhkan diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.
Kendati Ahmad al-Hadi tidak aktif lagi di NU, namun anak-anak dan para menantunya tetap berjuang di garis depan dalam menegakkan NU, baik pada era Orde Lama, Orde Baru, maupun pada era reformasi. Ahmad al-Hadi atau Ustadz Semarang sendiri tutup usia pada tahun 1976 dan dikuburkan di depan masjid Agung Loloan Timur. Makamnya yang berdampingan dengan Kubur Syarif Abdullah al-Qadri, Adik Sultan Abdurrahman al-Qadri dari kerajaan Pontianak Kalimantan merupakan bentuk penghormatan terhadap jasa-jasanya bagi perkembangan Islam di Bali.(Rifqil Halim Muhammad)

H NUDDIN LUBIS

H NUDDIN LUBIS
Tokoh yang Tegas dan Berkepribadian

Politik memang tidak ada sekolahannya, karena sekolahannya di lapangan. Kalau pun terpaksa belajar politik di sekolah paling banter hanya akan menjadi ilmuwan politik atau sekadar pengamat politik, tidak dengan sendirinya menjadi politisi. Bagi seorang politisi, politik itu bukan sesuatu yang dipikirkan dan dilihat saja, tetapi sesuatu yang duterjuni, digumuli sebagai panggilan hidup. Dari situ banyak muncul tokoh politik yang matang dan berkeperibdian seperti Nuddin Luibis, dengan pengalaman lapangannya mampu memimpin partai dari tingkat lokal hingga nasional.
Tokoh yang dikenal sangat vokal dan teguh pendirian itu lahir di desa Roburan Mandailing Natal (Madina), 25 November 1919. Namun jangan heran kalau politisi yang sangat kondang pada zamannya itu hanya tamatan Madrasah Aliyah di pesantren Mustofawiyah Purba Baru Tapanuli Selatan. Dengan semangat belajar yang tekun serta talenta kepemimpinannya yang tinggi ia berhasil  mendongkrak karirnya sebagai politisi yang matang dan dihargai kawan maupun lawan, karena itu posisi sebagai ketua partai dan wakil ketua DPR/MPR cukup lama dipercayakan kepadanya. Dengan posisinya itu banayak persoalan nasional yang diselesaikan. 
Bekal pendidikan madrasah Aliyah itu ia mencoba meniti karir di bidang politik. Sejak tahun 1947 hingga tahun 1950 menjadi anggota DPRD dan DPD Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah sukses di daerahnya dua tahun kemudian dia hijrah ke Medan ibu kota Propinsi Sumatera Utara untuk mengembangkan karir sebagai pegawai negeri sipil. Karena memiliki jiwa kepemimpinan maka ia selalu menonjol di lingkungan kerjanya, maka tidak lama kemudian ia dia ditempatkan di Pemda Kota Medan, bahkan beberapa tahun kemudian bakat kepemimpinannya  dibuktikan dengan menduduki jabatan sebagai wedana atau pembantu walikota. Seusai menjabat sebagai wedana kemudian dipromosikan lagi  sebagai pegawai bagian politik pada Kantor Residen Medan hingga tahun 1954.
Sebagai seorang alumni pesantren salaf dengan sendirinya Nuddin Lubis memiliki afiliasi yang kuat dengan Nahdlatul Ulama (NU). Mengingat komitmen ke-NU-annya yang kuat itu maka pada tahun 1957 berani melepaskan karirnya sebagai pegawai negeri setelah terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, hasil Pemilu 1955 mewakili partai NU. Pada saat yang bersamaan dia terpilih sebagai Wakil Ketua DPD dan Wakil Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Posisi ini dipegang hingga tahun 1963. Pilihan mengundurkan diri sebagai pegawai negeri yang penuh risiko itu telah diperhitungkan dengan cermat. Terbukti setelah itu karir politiknya bukan semakin menurun, justru semakin menanjak, bahkan telah menganatarkannya menjadi politisi berkaliber nasional, saat mana ia harus hijrah ke Jakarta untuk menjadi anggota DPRGR/MPRS pada tahun 1963.
Pejuang Tulen
H. Nuddin Lubis yang beristrikan Hj. Dumasari Nasution memang benar-benar seorang pejuang tulen. Sejak remaja dan pemuda waktunya habis untuk berkhidmat kepada bangsa dan Negara melalui organisasi politik maupun sosial. Masih dalam usia 20 tahun, Nuddin sudah menjabat sebagai pimpinan pengurus besar organisasi lokal yaitu Al-Ittihadul Islamiyah (AII) Tapanuli Selatan. Empat tahun kemudian dia menjabat Sekretaris Majelis Islam Tinggi (MIT) Tapanuli. Pergumulannya dengan berbagai organisasi Islam lokal itu merupakan sekolah politik yang sangat berharga bagi Nuddin muda.
Tahun 1945-1947 menjabat sebagai  pengurus besar AII Tapanuli. Selama enam tahun (1946-1952) menjadi pimpinan Masyumi Tapanuli Selatan. Bersamaan dengan itu ia menjadi anggota Konsul (Wilayah) Nahdlatul Ulama, hingga menjadi Ketua Wilayah NU Sumatera Utara hingga tahun 1970. Kepiawiannya dalam berpolitik itu, ia semakin menjadi perhatian kalangan Pengurus Besar NU, karena itu sejak tahun 1965 hingga 1970 menjadi Ketua Fraksi Partai NU di DPRGR dan anggota pleno PB Nahdlatul Ulama.
Kiprah Nuddin Lubis dimulai sejak tahun 1941, aktif memimpin Gerakan Perjuangan Islam hingga masa pendudukan Jepang. Tahun 1945 turut aktif pula dalam revolusi kemerdekaan dengan menjadi anggota  Komite Nasional Indonesia (KNI) dan juga  Pengurus Barisan Pemuda Republik Indonesia Tapanuli Selatan. Pada saat bersamaan membentuk Barisan Hizbullah dan Sabilillah Tapanuli Selatan.
Pada tahun 1947-1948 menjadi anggota Badan Pertahanan Kabupaten Tapanuli Selatan. Selama setahun aktif bergerilya di hutan, merangkap sebagai penasihat pemerintah militer Tapanuli Selatan/Sumatera Timur Selatan. Dia juga membentuk Barisan Al-Jihad yang melakukan perlawanan-perlawanan kepada tentara Belanda. Sesudah penyerahan kedaulatan (1950) turut aktif memperjuangkan terwujudnya Negara kesatuan Republik Indonesia.
Selama delapan tahun (hingga 1958) menjadi anggota Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sumatera Utara dalam wadah ini Nuddin Lubis yang sangat patriotik itu dengan sendirinya turut aktif menentang pemberontakan PRRI –Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pimpinan Kol Mauludin Simbolon berkecamuk di wilayahnya itu. Bagi Nuddin pemberontakan itu sebuah makar yang harus diperangi, sebab merongrong kesatuan Republik Indonesia.
Apalagi kota Medan pada tahun 1956 dijadikan Tuan rumah Pelaksanaan Muktamar NU ke 20, maka situasi harus benar-benar diamankan, karena itu dia terpaksa harus membujuk para pimpinan pemberontak agar tidak mengganggu jalannya Muktamar NU. Rupanya usaha itu berhasil sehingga Muktamar NU berjalan lancar di tengah suasana perang.
Resolusi Nuddin Lubis
Berpuluh tahun bergumul dalam dunia politik melalui partai NU membuat Nuddin Lubis amat matang dengan asam garam politik Nasional. Lebih 40 tahun menjadi wakil rakyat sejak di DPRD Kabupaten, Provinsi hingga tingkat pusat membuatnya menjadi politisi yang berkarakter kuat. Tidak mudah tergoda oleh manuver  politik dari partai lain, namun dia tetap konsisten dengan watak NU yang persuasif dan bijak. Kecuali dalam hal-hal tertentu apabila situasi sudah sangat genting, barulah ia tampil memperlihatkan kepiawaiannya di bidang politik.
Begitulah, ketika terjadi situasi dualisme politik dalam kepemimpinan Nasional antara Bung Karno dan Pak Harto pada tahun 1967, H. Nuddin Lubis tampil dengan usul resolusinya yang terkenal ketika itu. Nuddin Lubis dengan sejumlah teman dari partai lain yang terwakili di DPRGR meminta agar Bung Karno segera diberhentikan dalam jabatan sebagai Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi ABRI dan Mandataris MPRS  Pemberhentian Bung Karno tentunya dilakukan dalam sidang MPRS, mengingat MPRSlah yang memberi mandat kepada Bung Karno sebagai Presiden.       
Resolusi itu diterima baik dalam sidang paripurna DPRGR yang diketuai oleh H.A.Sjaichu yang juga dari Partai NU. Pimpinan DPRGR kemudian meneruskan resolusi tadi kepada pimpinan MPRS yang diketuai oleh Jenderal Abdul Harris Nasution dengan salah seorang wakil Ketuanya HM Suchan ZE yang juga dari NU. Pada tahun 1967 itu juga diadakan Sidang Istimewa MPRS di Jakarta. Sebelum sidang berlangsung H.Djamaluddin Malik mengeluarkan resolusi agar  Letjen TNI Soeharto diangkat sebagai Pejabat Presiden atau pengganti Bung Karno.
Pada tahun 1967 itu juga sidang MPRS diadakan di Jakarta. Menjelang sidang situasi dualisme kepemimpinan makin terasa memanas dan tidak kondusif. Namun alhamdulillah segala problema bangsa dapat diselesaikan dengan cantik. Bung Karno diberhentikan sebagai Presiden dengan mencabut mandat yang diberikan oleh MPRS melalui siding umum MPRS juga. Letjen TNI Soeharto kemudian ditetapkan sebagai Pejabat Presiden Republik Indonesia.
Perlu diketahui adanya dualisme kepemimpinan itu terjadi karena Bung Karno merasa masih menjadi Presiden, sedangkan Pak Harto ketika itu masih dalam status pemegang Surat Perintah 11 Maret, atau sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban –Kopkamtib. Kejadian-kejadian yang mewarnai dualisme kepemimpinan ini nyaris berdampak ke tingkat akar rumput, sehingga terjadi benturan-benturan dan konflik politik yang membahayakan persatuan bangsa.
Kiprah dalam PPP
Setelah NU melakukan fusi bersama partai lain ke dalam PPP, maka kader politik yang sudah matang seperti Nuddin Lubis tentu sangat dibutuhkan. Apalagi berdarakan perolehan suara NU pada Pemilu 1971, yang merupakan ranking kedua setelah Golkar, bisa dibayangkan NU saat itu merupakan partai yang sangat besar dibanding partai Islam yang lai. Karena itu layak kalau NU memimpin partai yang lain dalam fusinya ke dalam PPP. Dibawah kepimpinan KH Bisri Sansuri PPP semakin besar dan berwibawa, sehingga kader seperti Nuddin Lubis, Cholik Ali, Yusuf Hasyim dan sebagainya bisa bermanuver secara cantik dalam pentas politik nasional melawan kedholiman Orde Baru.
Sebagai partai Islam dengan tegas PPP menolak RUU Perkawinan yang sekular, sebagai warga NU demngan tegas menolak monopoli penafsiran Pancasila  dan menolak UU Politik yang tidak demokratis. Karena itu dengan skuat yang kuat termasuk di dalamnya ada Nuddin Lubis NU melakukan walk out ketika persoalan krusial itu diangkat ke sidang DPR. Sementara unsur yang lain dalam PPP berdiam diri.
Berpuluh tahun menjadi anggota DPR/MPR ini berarti Nuddin Lubis orang paling lama mewakili Partai NU, dan kemudian Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketika empat partai Islam yang berfusi ke dalam PPP, secara otomatis Nuddin menjadi anggota PPP. Ketika PPP dipimpin oleh HMS Mintaredja dan HJ.Naro, Nuddin Lubis menjabat sebagai Wakil Ketua Umum DPP PPP. Tahun 1982, terjadi kemelut di dalam tubuh PPP karena agresifitas unsur lain yang berfusi, membuat sejumlah nama tokoh NU dipelantingkan dari nomor kecil ke nomor sepatu dalam daftar calon pemilu. Namun Nuddin Lubis mampu bertahan, hingga tetap menduduki jabatan Wakil Ketua DPR/MPR.
Ketika kemelut itu berkecamuk kalangan PBNU tetap menggunakan Nuddin Lubis ebagai mediator, terutama setelah walk out itu antara unsur NU dan lainnya retak, sementara PPP harus segera Solid untuk menghadapi Pemilu berikutnya yakni Pemilu 1982, karena itu NU mengutus Nuddin Lubis sebagai ketua Fraksi Persatuan Pembangunan untuk mengadakan ishlah dan rujuk yang diadakan pada 6 Maret 1980 yang diadakan di Hotel Syahid. Islah tersebut ternyata mampu mempererat kembali fusi PPP. Kemampuan berkomunikasi dan keterbukaannya itu membuat ia mudah diterima berbagai kalanagan.
Keluarga besar
Dari pernikahannya dengan Hj.Dumasari Nasution itu, ia dikaruniai 10 orang putera-puteri. Mereka adalah  Zulfikar Lubis, Yusnaini Lubis,Zulhana Lubis, Zulkifli Lubis, Zuraida Lubis, Zaini Musa Lubis, Masdulhaq Lubis, Syahrizal Lubis, Yusnina Sari Lubis dan Fadlansyah. Dari 10 putera puterinya itu dikaruniai belasan cucu. Nuddin Lubis wafat Mei tahun 2000 di Jakarta setelah menderita sakit beberapa pekan.
Rangkaian panjang perjuangannya hingga duduk menjadi Wakil Ketua DPR/MPR H.Nuddin Lubis dianugerahi sejumlah bintang jasa oleh Negara. Dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, namun ia tetap meminta agar dimakamkan di pemakaman umum Tanah Kusir Jakarta Selatan.
H A Baidhowi Adnan
Wartawan senior
Wakil Ketua LTN-PBNU