Pada hakikatnya
manusia merupakan keluarga besar kemanusiaan. Untuk dapat meraih
kehidupan bersama, manusia harus saling tolong menolong dan saling
menanggung antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hadits Nabi SAW
riwayat Imam Muslim digambarkan, adanya saling tolong menolong diantara
umat Islam bagaikan satu tubuh; jika ada satu anggota masyarakat yang
sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Minimal dengan menjenguknya,
atau bahkan memberikan bantuan. Tenggang rasa ini minimal dapat
mengurangi beban penderitaan orang yang terkena musibah.
Hadits ini menjadi dasar filosofi tegaknya sistem Asuransi Syariah.
Semangat bertakaful dalam menghadapi risiko musibah menekankan pada
kepentingan bersama atas dasar rasa persaudaraan diantara para peserta.
Sebenarnya ada berbagai cara bagaimana manusia menangani resiko
terjadinya musibah. Cara pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (
risk retention), yang kedua, mengalihkan risiko ke pihak lain (
risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (
risk sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah. Jadi,
risk sharing
inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya
diterapkan prinsip-prinsip kerjasama, proteksi dan saling
bertanggungjawab (c
ooperation, protection, mutual responsibility)
Pedoman Umum Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong
menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk
asset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola untuk menghadapi risiko
tertentu melalui akad (transaksi) yang sesuai dengan syariah, yaitu akad
yang tidak mengandung maghrib;
maysir (perjudian),
gharar
(penipuan) dan riba. Sifat mengutamakan kepertingan pribadi atau
dorongan mendapatkan keuntungan semata-mata, dihilangkan seminimal
mungkin dalam asuransi syariah. Akan tetapi ada pula yang menjadikan
asuransi ajang spekulasi (
maysir), yang menjadi asuransi sebagai akad jual beli atau tukar menukar (
mu’awadlah) bukan akad saling tolong menolong (
ta’awun’).
Dari definisi di atas juga tampak bahwa akad asuransi syariah tidak
pernah dijelaskan secara khusus oleh para imam mazhab fiqh. Sebab
pembahasan yang mirip dengan definisi asuransi syariah ini dalam kitab
fiqh adalah pembahsan masalah
’aqila,
muwalah, t
anahud, ’aqd al hirasah, d
laman khathr at thariq, dan
al kafalah. Bentuk-bentuk muamalah di atas (
Al-Aqilah, Al-Muwalah, At-Tanahud,
dsb) memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi, oleh sebagian
ulama dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang
dikelola secara profesional. Bedanya, sistem muamalah tersebut didasari
atas
’amal tathawwu’ dan tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Menurut sejarah, perkembangan asuransi baru muncul pada abad 13-14 di
Itallia, disaat terdapat sebagian orang yang siap menanggung
risiko-risiko di laut yang kerap menimpa perahu layar atau penumpangnya
dengan imbalan uang tertentu. Lalu setelah tiga abad, munculah asuransi
darat. Awalnya dalam bentuk asuransi kebakaran, yaitu selepas terjadinya
kebakaran yang cukup besar di London pada tahun 1666 M yang melalap
lebih dari 13000 rumah. Kemudian pada abad kedelapan belas sampai
pertengahan abad kesembilan belas seiring dengan revolusi industri dan
meningkatnya risiko tenaga kerja serta banyaknya alat industri muncul
bentuk asuransi lainnya, seperti asuransi seseorang yang mengasuransikan
dirinya dari sebuah bahaya yang mungkin menimpa hartanya, seperti juga
mengasuransikan mobilnya dari kecelakaan, kematian atau yang lain
sebagainya.
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru
diakui dan diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985. Pada tahun ini,
Majma al-Fiqh al-Islami
mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai
dengan syariah. Artinya, perkembangan takaful lebih didasarkan atas
kreasi dan kebutuhan umat muslim ketimbang didorong oleh fatwa. Sistem
asuransi diadopsi sebagai sistem saling menolong dan membantu di antara
para pesertanya. Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas
tentang asuransi adalah Ibnu Abidin (1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin
adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang mengawali untuk membahas
asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn Abidin, Bab
Jihad,
Fashl Isti'man Al-Kafir dan kitab
Raddu al Muhtar ’Ala ad Dar al Mukhtar.
Perkembangan industri asuransi syariah di negeri ini diawali dengan
kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT
Syarikat Takaful Indonesia (STI) berdiri pada 24 Februari 1994 yang
dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan
Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri,
Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha Muslim Indonesia.
Selanjutnya, STI mendirikan dua anak perusahaan. Mereka adalah
perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi Takaful Keluarga
(ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian syariah
bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah
Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari
cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.
Selanjutnya, perkembangan asuransi syariah dalam beberapa tahun terakhir
cukup menggembirakan. Saat ini, Indonesia dikenal sebagai salah satu
negara dengan jumlah operator asuransi syariah cukup banyak di dunia.
Berdasarkan data Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI), terdapat 51 pemain asuransi syariah di Indonesia yang telah
mendapatkan rekomendasi syariah. Mereka terdiri dari 42 operator
asuransi syariah, tiga reasuransi syariah, dan enam broker asuransi dan
reasiuransi syariah. Adapun perusahaan asuransi yang benar- benar secara
penuh beroperasi secara syariah ada tiga, yakni Asuransi Takaful Umum,
Asuransi Takaful Keluarga (jiwa), dan Mubarakah.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional
terletak pada tujuan dan landasan operasional. Dari sisi tujuan,
asuransi syariah bertujuan saling menolong (
ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (
tabaduli).
Dari aspek landasan operasional, asuransi konvensional melandaskan
kepada peraturan perundangan, sementara asuransi syariah melandaskan
pada peraturan perundangan dan ketentuan syariah. Dari kedua perbedaan
ini muncul perbedaan yang lainnya, mengenai hubungan perusahaan dan
nasabah, keuntungan, memperhatikan larangan syariah, dan pengawasan.
Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta.
Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada
asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi
milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan alokasi
investasinya. Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana
hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa
kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin
mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang telah
disetorkan dapat diambil kembali, kecuali sebagian kecil dana yang telah
diniatkan untuk tabarru’.
Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan
dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah
ditentukan, sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan
menjadi hak milik perusahaan. Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah
diambil dari dana
tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta
yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan
dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi
musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim
diambilkan dari rekening dana perusahaan.
Implementasi akad
takafuli dan
tabarru’ dalam sistem
asuransi syariah direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi
menjadi dua. Untuk produk yang mengandung unsur tabungan (
saving),
maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam rekening dana peserta
dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk produk yang tidak
mengandung unsur tabungan (
non saving), setiap premi yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening
tabarru’. Keberadaan rekening
tabarru’ menjadi sangat penting untuk menjawab pertanyaan seputar ketidakjelasan (ke-
gharar-an)
asuransi dari sisi pembayaran klaim. Misalnya, seorang peserta
mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan
manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun
ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan
menerima sejumlah penuh 10 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar
60 juta diperoleh dari mana. Disinilah kemudian timbul
gharar
tadi sehingga diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu
penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya
untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’.
Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (
shahibul maal) akan diinvestasikan oleh pengelola (
mudharib/wakil)
ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan
syariat. Apabila dari hasil investasi diperolah keuntungan (
profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara
shahibul maal (peserta) dan m
udharib (pengelola) berdasarkan akad
mudlarabah (bagi hasil) dengan rasio (
nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil.
Adapun asuransi akad tijari adalah model
mudlarabah atau
wakalah.
Secara teknis, mudlarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama menyediakan 100% modal sedangkan pihak kedua
menjadi pengelola. Di sini terjadi pembagian untung rugi antara (
shahibul maal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi (
mudharib).
Keuntungan usaha secara mudlarabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik
modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola.
Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian
pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian
tersebut. Kontrak bagi hasil disepakati di depan sehingga bila terjadi
keuntungan maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil tersebut.
Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60:40, dimana peserta mendapatkan
40 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 60 persen
dari keuntungan.
Meski sampai saat ini akad mudlarabah masih mendominasi kontrak-kontrak
asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi
“catatan khusus” terhadap jenis akad ini. Penolakan akad mudlarabah
difokuskan pada beberapa hal : Definisi profit sharing dalam akad
mudharabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi” sedangkan
dalam prakteknya, yang terjadi bukan “
profit sharing” tapi “
surplus sharing”
dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi + modal pokok” yaitu
dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa
setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.
Dalam model mudlarabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap
musibah yang dialami peserta lain, termasuk untuk membayar beban-beban
asuransi lain (biaya reasuransi, medical expenses, legal fee, dll),
sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung jawab terhadap semua
pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai
kapasitasnya dalam akad mudlarabah. Dalam kenyataan di beberapa model
mudlarabah, biaya marketing dan komisi bukan merupakan pengeluaran
operator tapi dibebankan kepada Takaful fund.
Berbeda dengan akad mudlarabah, yaitu akad wakalah, Takaful berfungsi
sebagai wakil peserta dimana dalam menjalankan fungsinya (sebagai
wakil), Takaful berhak mendapatkan biaya jasa (
fee) dalam
mengelola keuangan mereka. Dalam konteks yang ideal, Takaful tidak lagi
mendapatkan bagi hasil karena seluruh dana beserta hasil investasinya
menjadi hak penuh dari peserta. Namun demikian, pihak pengelola berhak
mengenakan biaya manajemen atau biaya operasional.
Pilihan keputusan hukum asuransi syariah yang ditetapkan oleh Munas Alim
Ulama pada 2006 merupakan pilihan hukum dan model asuransi yang bebas
dari perbedaan para ulama fiqh (
al huruj minal khilaf mustahabbun)
yang mengharamkan dan yang menghalalkan praktik asuransi konvensional.
Sebab menurut sebagian pengikut mazhab Hanafi dan Maliki, hukum asuransi
konvensional adalah boleh dan halal. Dalil yang digunakan adalah
kaidah, bahwa asal segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang
mengharamkannya. Sedangkan akad asuransi tidak ada teks (
nash)
yang mengharamkan maka berarti hukum asuransi adalah boleh seperti akad
muamalah lainnya sepanjang menjadi maslahah dan tradisi (
‘urf).
Adapun ulama Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengharamkan asuransi
konvensional berargumentasi dengan dalil, bahwa praktik asuransi
disamakan dengan praktik riba. Yaitu membayar uang di zaman tertentu
dengan pengembalian yang bertambah pada waktu berikut. Maka praktik ini
termasuk
riba nasi’ah dan
riba al fadl sekaligus.
HM. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU