Diakui
atau tidak, kita dalam hidup sehari-hari masih selalu terserimpung
dengan perasaan berat untuk menginfakkan sebagian harta kita kepada
yang berhak. Kita sering tidak merasa tersentuh oleh anak-anak kecil
yang memanggil-manggil dengan menjajakan koran di depan jendela mobil
kita, saat kita berhenti di persimpangan jalan. Kita sering perhitungan
untuk membantu tetangga yang kelaparan, para pengemis yang terdesak
lapar, para fakir miskin yang tidak sanggup lagi membiayai anaknya
sekolah. Untuk zakat saja yang merupakan kewajiban, kita selalu
berusaha menghindar dan mencari-cari alasan. Apa yang membuat berat?
Apakah harta kita akan berkurang? Apakah Infaq dan zakat memang
menguras harta kekayaan kita?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada beberapa hal yang harus disadari:
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada beberapa hal yang harus disadari:
Pertama:
kurangnya, kalau tidak ingin disebut tidak ada, kesadaran bahwa harta
yang kita miliki itu sebenarnya milik Allah. Kita bukan pemilik yang
sebenarnya. Kita hanya pembawa amanat. Suatu saat, sehebat apapun kita
menjaga dan menyimpannya, kita pasti akan meninggalkannya. Kita pasti
akan berpisah dengan harta kekayaan, bahkan kita akan diminta
pertanggung jawaban mengenai sejauh mana kita menggunakan harta yang
kita genggam. Tidak adanya kesadaran seperti ini, menyebabkan lahirnya
pemahaman yang salah: bahwa harta itu itu milik kita sepenuhnya, ia
adalah hasil keringart dan jerih payahnya. Akibatnya ia menjadi pelit
dan kikir, padahal kalau ia pikirkan secara mendalam, ia akan sampai
kepada sebuah ajwaban, bahwa yang menentukan kaya tidaknya seseorang,
bukan karena keringat dan jerih payahnya, melainkan Allah.
Lihat
kenyataan yang sering ada dalam kehidupan kita, banyak kita
menyaksikan saudara-saudara kita bekerja keras siang dan malam, tapi
ternyata rejekinya masih saja hanya cukp dimakan. Di saat yang sama
kita juga menyaksikan sejumlah orang yang hanya duduk santai, bahkan
tidur-tiduran,tapi Allah melimpahkan kepadanya kekayaan yang melimpah
ruah.
Kedua:
kurang mantapnya keyakinan akan janji Allah, bahwa setiap apa yang
kita infakkan akan mendapatkan ganti tujuh ratus kali lipat. Akibatnya
kita selalu keberatan untuk berinfaq. Sebab kita selalu yakin bila
berinfaq hartanya pasti akan berkurang, padahal janji Allah pasti dan
tidak pernah diingkari. Sungguh betapa banyak bukti-bukti yang
menguatkan betapa Allah melimpahkan harta orang-orang yang selalu
membayar zakat dan infaq. Dalam kisah orang-orang soleh sering kita
membaca bahwa mereka begitu kuat keyakinanya terhadap janji Allah
tersebut, sehingga mereka tidak pernah sama sekali terbebani oleh dunia
yang ada di tangan mereka. Imam Ahmad bin Hanbal, ketika diberi hadiah
oleh seorang khalifah sejumlah hadiah, beliau tidak pernah berfikir
bagaimana menikmati harta tersebut, malainkan beliau segera
menginfakkannya kepada yang berhak. Itulah kemudian kita menyaksikan
kehidupan beliau begitu berkah, dinamis dan produktif, tidak terbebani
permasalahan dunia apapun. Apalagi beliau memang memilih hidup
sederhana.
Ketiga:
kita selalu dikuasai oleh perasaan ingin dipuji, ingin dibilang bahwa
kita dermawan. Kalau tidak ada yang menyaksikan atau di depan halayak,
kita tidak mau bersedekah. Baru kalau kita bisa menunjukkan gengsi
sosial kita mau bersedekah. Akibatnya infaq yang kita lakukan bukan
atas dasar iamn, melainkan karena gengsi sosial. Dari sininya hilangnya
keberkahan dalam infaq kita. Sebab Allah sangat membenci orang yang
berinfaq dengan tujuan supaya dipuji orang lain. Dalam terminology
agaam, sikap semacam ini dikategorikan riyak. Suatu sikap yang akan
menundang dosa. Bahkan riyak disebut juga "Assyirkul Asghar" (syirik
kecil), sebab dengan sikap tersebut ia lebih menyukai dipuji orang
daripada dipuji Allah. Tegasnya ia telah mensejajarkan manusia dengan
Allah.
Keempat:
lemahnya kesadaran bahwa setiap yang kita infaqkan akan menjadi
tabungan kita di hari akhirat, yaitu kehidupan kita yang kekal kelak.
Mencapai kebahagiaan dalam kehidupan ini memerlukan bekal khusus yang
berkualitas. Bekal tersebut harus kita persiapkan dengan nilai-nilai
keihlasan sewaktu di dunia. Salah satu bekal tersebut adalah berinfaq.
Tidak harus dengan harta, namun dengan apa saja yang ia miliki. Mereka
yang mempunyai ilmu bisa berinfaq dengan ilmu, mereka yang punya harta
bisa berinfaq dengan hartanya, begitu seterusnya. Satu hal yang perlu
kita yakini bersama bahwa barang siapa yang berinfaq di jalan Allah
dengan tanpa hitungan "bighairi hisab" maka Allah akan membalasnya
dengan tanpa hitungan pula. Amiin.
* Oleh: Amir Faisal Fath, Mahasiswa Paska Sarjana, Tafsir al-Qur'an, International Islami Univrsity Islamabad.
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..