Pengingkaran tersebut, yang diceritakan olch Saudara penanya
dari salah seorang di majelisnya, sebagian benar dan
sebagian lagi salah. Tidaklah semua mukjizat Rasulullah saw.
yang nyata dan tersiar di antara orang-orang merupakan
riwayat yang shahih dan benar, dan tidak juga semuanya
salah.
Keshahihan dan kesalahan dalam masalah-masalah ini tidaklah
semata-mata disebabkan oleh pendapat atau hawa nafsu dan
emosi, tetapi ditentukan oleh sanad-sanad.
Orang-orang dalam masalah ini -masalah mukjizat Nabi
Muhammad saw. yang bersifat material- ada tiga macam:
Pertama: Orang yang berlebihan dalam membenarkan dan
menjadikan sanad dan dalil adalah sesuatu yang tercantum
dalam kitab-kitab, apakah itu merupakan kitab ulama periode
terdahulu maupun belakangan, yang menyaring riwayat-riwayat
atau tidak, yang bersesuaian dengan pokok-pokoknya atau
bahkan menyalahinya, dan apakah kitab-kitab itu diterima
oleh para ulama peneliti atau tidak.
Yang penting hal itu diriwayatkan dalam sebuah kitab,
meskipun tidak diketahui pengarangnya, atau disebutkan dalam
sebuah kasidah yang berisi pujian terhadap Nabi saw, atau
dalam kisah Maulid yang sebagiannya dibaca di bulan Rabiul
Awxval setiap tahun dan sebagainya.
Ini pemikiran awam yang tidak perlu dibicarakan. Kitab-kitab
itu berisi riwayat yang baik dan buruk, benar dan salah,
shahih? dan palsu (dibuat-buat).
Peradaban agama kita telah tercemar oleh para pengarang
semacam ini, yang menerima “kisah-kisah khayalan” dan
mengisi lembaran kitab-kitab mereka, meskipun menyalahi
riwayat yang shahih dan akal sehat.
Sebagian pengarang tidak memperhatikan kebenaran riwayat
dari kisah-kisah ini dengan alasan tidak ada hubungannya
dcngan penetapan hukum syariat, baik mengenai halal atau
haram dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila meriwayatkan
mengenai halal dan haram, mereka bersikap keras dalam
menyelidiki sanad-sanad, mengkritik para rawi dan menyaring
riwayat-riwayatnya.
Namun, apabila meriwayatkan tentang amalan-amalan utama,
At-Targhib wat-Tarhib, misalnya mukjizat dan sebagainya,
mereka pun menyepelekan dan bersikap toleran.
Ada pula pengarang yang menyebut riwayat-riwayat dengan
sanad-sanadnya – Fulan dari Fulan dari Fulan – tetapi mereka
tidak memperhatikan nilai sanad-sanad ini. Apakah shahih
atau tidak? Nilai para rawinya, apakah mereka tsiqat (dapat
dipercaya), dapat diterima, lemah tercela, atau pendusta
tertolak? Mereka beralasan bahwa apabila mereka menyebut
sanadnya, maka mereka telah bebas dari tanggung jawab dan
terlepas dari ikatan.
Hal itu hanya cocok dan cukup bagi para ulama di zaman-zaman
permulaan. Adapun di zaman-zaman belakangan, khususnya di
masa kita seperti sekarang ini, maka penyebutan sanad
tidaklah berarti apa-apa. Orang-orang hanya mengandalkan
penukilan dari kitab-kitab tanpa memandang sanad.
Ini adalah sikap mayoritas penulis dan pengarang di zaman
kita ketika mereka mengutip dari Tarikh Thabari atau
Thabaqat Ibnu Sa’ad dan lain-lain.
Kedua: Orang yang berlebihan dalam menolak dan mengingkari
mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda alamiah yang nyata.
Alasannya dalam hal itu ialah, bahwa mukjizat Nabi Muhammad
saw. adalah Al-Qur’anul Karim.
Didalamnya terdapat tantangan agar orang-orang mendatangkan
(membuat) Al-Qur’an seperti itu, sepuluh surat atau cukup
satu surat saja yang seperti itu.
Tatkala kaum musyrikin minta dari Rasulullah saw. agar
mengeluarkan tanda-tanda alamiah supaya mereka
mempercayainya, maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menyatakan
penolakan tegas terhadap permintaan mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak percaya
kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk
kami’.”(Q.s. Al-Isra’:90).
“Atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu
kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras
alirannya. ” (Q.s. Al-Isra’:91).
“Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami,
sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan
malaikat-malaikat bertatap muka dengan kami.” (Q.s.
Al-Isra’:92).
“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau kamu naik
ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai
kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab
yang kami baca. Katakanlah, ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku
ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul’.” (Q.s.
Al-Isra’: 93).
Di tempat lain, Allah menyebut hal-hal yang mencegah
turunnya tanda-tanda alamiah yang mereka usulkan. Firman
Allah swt.:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalang-halangi Kami
untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami),
melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh
orang-orang yang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada
Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat
dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami
tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk
menakut-nakuti.” (Q.s. Al-Isra’: 59).
Dalam surat lain Allah menolak permintaan turunnya
tanda-tanda yang lain dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an
sendiri sudah cukup untuk menjadi tanda bagi Muhammad saw.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah
menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an), sedang dia
dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur’an) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang
yang beriman.” (Q.s. Al-Ankabut: 51).
Hikmah Ilahiah telah menghendaki mukjizat Muhammad saw.
merupakan mukjizat akliah dan moral, bukan mukjizat kongkrit
dan material. Hal itu dimaksudkan supaya lebih layak dengan
kemanusiaan setelah melewati tahap-tahap masa kanak-kanaknya
dan lebih layak dengan tabiat risalah penutup yang kekal
Mukjizat-mukjizat nyata berakhir begitu ia terjadi. Adapun
mukjizat akliah, ia akan tetap kekal.
Hal itu dikuatkan oleh hadis dalam Shahih Bukhari dari Nabi
saw, beliau bersabda:
“Tidak ada seorang Nabi diantara Nabi-nabi yang diutus,
melainkan ia diberi tanda-tanda (mukjizat) dan kepadanya
manusia beriman, tetapi apa yang diberikan kepadaku adalah
wahyu yang diturunkan Allah kepadaku. Maka, aku berharap
menjadi Nabi yang terbanyak pengikutnya diantara mereka pada
hari Kiamat.” (H.r. Bukhari).
sebagian lagi salah. Tidaklah semua mukjizat Rasulullah saw.
yang nyata dan tersiar di antara orang-orang merupakan
riwayat yang shahih dan benar, dan tidak juga semuanya
salah.
Keshahihan dan kesalahan dalam masalah-masalah ini tidaklah
semata-mata disebabkan oleh pendapat atau hawa nafsu dan
emosi, tetapi ditentukan oleh sanad-sanad.
Orang-orang dalam masalah ini -masalah mukjizat Nabi
Muhammad saw. yang bersifat material- ada tiga macam:
Pertama: Orang yang berlebihan dalam membenarkan dan
menjadikan sanad dan dalil adalah sesuatu yang tercantum
dalam kitab-kitab, apakah itu merupakan kitab ulama periode
terdahulu maupun belakangan, yang menyaring riwayat-riwayat
atau tidak, yang bersesuaian dengan pokok-pokoknya atau
bahkan menyalahinya, dan apakah kitab-kitab itu diterima
oleh para ulama peneliti atau tidak.
Yang penting hal itu diriwayatkan dalam sebuah kitab,
meskipun tidak diketahui pengarangnya, atau disebutkan dalam
sebuah kasidah yang berisi pujian terhadap Nabi saw, atau
dalam kisah Maulid yang sebagiannya dibaca di bulan Rabiul
Awxval setiap tahun dan sebagainya.
Ini pemikiran awam yang tidak perlu dibicarakan. Kitab-kitab
itu berisi riwayat yang baik dan buruk, benar dan salah,
shahih? dan palsu (dibuat-buat).
Peradaban agama kita telah tercemar oleh para pengarang
semacam ini, yang menerima “kisah-kisah khayalan” dan
mengisi lembaran kitab-kitab mereka, meskipun menyalahi
riwayat yang shahih dan akal sehat.
Sebagian pengarang tidak memperhatikan kebenaran riwayat
dari kisah-kisah ini dengan alasan tidak ada hubungannya
dcngan penetapan hukum syariat, baik mengenai halal atau
haram dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila meriwayatkan
mengenai halal dan haram, mereka bersikap keras dalam
menyelidiki sanad-sanad, mengkritik para rawi dan menyaring
riwayat-riwayatnya.
Namun, apabila meriwayatkan tentang amalan-amalan utama,
At-Targhib wat-Tarhib, misalnya mukjizat dan sebagainya,
mereka pun menyepelekan dan bersikap toleran.
Ada pula pengarang yang menyebut riwayat-riwayat dengan
sanad-sanadnya – Fulan dari Fulan dari Fulan – tetapi mereka
tidak memperhatikan nilai sanad-sanad ini. Apakah shahih
atau tidak? Nilai para rawinya, apakah mereka tsiqat (dapat
dipercaya), dapat diterima, lemah tercela, atau pendusta
tertolak? Mereka beralasan bahwa apabila mereka menyebut
sanadnya, maka mereka telah bebas dari tanggung jawab dan
terlepas dari ikatan.
Hal itu hanya cocok dan cukup bagi para ulama di zaman-zaman
permulaan. Adapun di zaman-zaman belakangan, khususnya di
masa kita seperti sekarang ini, maka penyebutan sanad
tidaklah berarti apa-apa. Orang-orang hanya mengandalkan
penukilan dari kitab-kitab tanpa memandang sanad.
Ini adalah sikap mayoritas penulis dan pengarang di zaman
kita ketika mereka mengutip dari Tarikh Thabari atau
Thabaqat Ibnu Sa’ad dan lain-lain.
Kedua: Orang yang berlebihan dalam menolak dan mengingkari
mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda alamiah yang nyata.
Alasannya dalam hal itu ialah, bahwa mukjizat Nabi Muhammad
saw. adalah Al-Qur’anul Karim.
Didalamnya terdapat tantangan agar orang-orang mendatangkan
(membuat) Al-Qur’an seperti itu, sepuluh surat atau cukup
satu surat saja yang seperti itu.
Tatkala kaum musyrikin minta dari Rasulullah saw. agar
mengeluarkan tanda-tanda alamiah supaya mereka
mempercayainya, maka turunlah ayat Al-Qur’an yang menyatakan
penolakan tegas terhadap permintaan mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan mereka berkata, ‘Kami sekali-kali tidak percaya
kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dari bumi untuk
kami’.”(Q.s. Al-Isra’:90).
“Atau kamu mempunyai sebuah kebun kurma dan anggur, lalu
kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras
alirannya. ” (Q.s. Al-Isra’:91).
“Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami,
sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan
malaikat-malaikat bertatap muka dengan kami.” (Q.s.
Al-Isra’:92).
“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas atau kamu naik
ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai
kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab
yang kami baca. Katakanlah, ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku
ini hanya seorang manusia yang menjadi Rasul’.” (Q.s.
Al-Isra’: 93).
Di tempat lain, Allah menyebut hal-hal yang mencegah
turunnya tanda-tanda alamiah yang mereka usulkan. Firman
Allah swt.:
“Dan sekali-kali tidak ada yang menghalang-halangi Kami
untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasaan Kami),
melainkan karena tanda-tanda itu telah didustakan oleh
orang-orang yang dahulu. Dan telah Kami berikan kepada
Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang dapat
dilihat, tetapi mereka menganiaya unta betina itu. Dan Kami
tidak memberi tanda-tanda itu melainkan untuk
menakut-nakuti.” (Q.s. Al-Isra’: 59).
Dalam surat lain Allah menolak permintaan turunnya
tanda-tanda yang lain dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an
sendiri sudah cukup untuk menjadi tanda bagi Muhammad saw.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah
menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an), sedang dia
dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al-Qur’an) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang
yang beriman.” (Q.s. Al-Ankabut: 51).
Hikmah Ilahiah telah menghendaki mukjizat Muhammad saw.
merupakan mukjizat akliah dan moral, bukan mukjizat kongkrit
dan material. Hal itu dimaksudkan supaya lebih layak dengan
kemanusiaan setelah melewati tahap-tahap masa kanak-kanaknya
dan lebih layak dengan tabiat risalah penutup yang kekal
Mukjizat-mukjizat nyata berakhir begitu ia terjadi. Adapun
mukjizat akliah, ia akan tetap kekal.
Hal itu dikuatkan oleh hadis dalam Shahih Bukhari dari Nabi
saw, beliau bersabda:
“Tidak ada seorang Nabi diantara Nabi-nabi yang diutus,
melainkan ia diberi tanda-tanda (mukjizat) dan kepadanya
manusia beriman, tetapi apa yang diberikan kepadaku adalah
wahyu yang diturunkan Allah kepadaku. Maka, aku berharap
menjadi Nabi yang terbanyak pengikutnya diantara mereka pada
hari Kiamat.” (H.r. Bukhari).
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..