Perjalanan Yang Jauh
Nurah,
saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali.
Tetapi seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur'anul
Karim. Tika ingin menemuinya, pergilah ke
mushallanya. Di sana engkau akan mendapatinya sedang
ruku', sujud dan menengadahkan ke langit. Itulah yang
dilakukannya setiap pagi, sore dan di tengah malam
hari. Ia tidak pernah jenuh.
Berbeda
dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah
seni, tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir
tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku sudah
identik dengan benda yang satu ini. Setiap video
diputar pasti di situ ada aku. Karena 'kesibukanku'
ini, banyak kewajiban yang tak bisa kuselesaikan
bahkan, aku suka meninggalkan shalat. Setelah tiga
jam berturut-turut menonton video di tengah malam, aku
dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid
dekat rumahku.
Sekonyong-konyong
malas menggelayuti semua persendianku, maka aku pun
segera menghampiri tempat tidur. Nurah memanggilku
dari mushallanya.
Dengan
berat sekali, aku menyeret kaki menghampirinya. "Ada
apa Nurah?," tanyaku. "Jangan tidur sebelum shalat
Shubuh!", ia mengingatkan. "Ah. Shubuh kan masih satu
jam lagi. Yang baru saja kan adzan pertama"
Begitulah, ia selalu penuh perhatian padaku. Sering
memberiku nasihat, sampai akhimya ia terbaring sakit. Ia
tergeletak lemah di tempat tidur.
"Hanah!,"
panggilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu
menolaknya. Suara itu begitu jujur dan polos. "Ada
apa saudariku?", tanyaku pelan. "Duduklah!" Aku
menurut dan duduk di sisinya. Hening…Sejenak kemudian
Nurah melantunkan ayat suci Al-Qur'an dengan
suaranya yang merdu. "Tiap jiwa akan merasakan mati.
Dan sesungguhnya pada hari Kiamat sajalah disempumnkan
pahalamu." (Al Imran: 185) Diam sebentar, lalu ia
bertanya: "Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?" "Tentu
saja percaya!" "Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu
kelak akan dihisab, baik yang besar maupun yang
kecil?" "Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha
Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih
muda, umurku masih panjang!" "Ukhti, apakah kamu
tidak takut mati yang datangnya tiba-tiba? Lihatlah
Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal
karena sebuah kecelakaan. Lihat pula si fulanah…Kematian tidak
mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang. Aku
menjawabnya penuh ketakutan.
Suasana
tengah malam yang gelap mencekam, semakin menambah
rasa takutku. "Aku takut dengan gelap, bagaimana
engkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian ? Di
mana aku akan tidur nanti ?" Jiwa asliku yang amat
penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri aku
benusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang
menyenangkan, rekreasi.
"Oh
ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi
rekreasi bersama?", pancingku. "'Tidak, karena
barangkali tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat
yang jauh… mungkin… umur ada di tangan Allah, Hanah",
ia lalu terisak. Suara itu bergetar, aku ikut hanyut
dalam kesedihan. Sekejap, langsung terlintas dalam benakku
tentang sakitnya yang ganas. Para dokter, secara rahasia telah
mengabarkan hal itu kepada ayah.
Menurut
analisa medis, para dokter sudah tak sanggup, dan
itu berarti dekatnya kematian. Tetapi, siapa yang
mengabarkan ini semua padanya?, atau ia memang merasa
sudah datang waktunya?, "Mengapa ternenung? Apa yang
engkau lamunkan?", Nurah membuyarkan lamunanku. "Apa
kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang
sakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang
dari umur orang-orang sehat. Dan kamu, sampai kapan akan terus
hidup? Mungkin 20 tahun lagi, 40 tahun atau…Lalu apa setelah
itu? Kita tidak berbeda. Kita semua pasti akan pergi,
entah ke Surga atau ke Neraka. Apakah engkau belum
mendengar ayat: "Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung" ( Ali Imran: 185). "Sampai besok pagi," ia menutup nasihatnya.
Aku
bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasihatnya
masih tergiang-ngiang di gendang telingaku, "Semoga
Allah memberimu petunjuk, jangan lupa shalat!" Pagi
hari…Jam dinding menunjukkan angka delapan
pagi.Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar. "Pada jam ini
biasanya aku belum mau bangun" pikirku. Tetapi di luar
terdengar suara gaduh, orang banyak terisak. "Ya Rabbi, apa
yang tejadi?" "Mungkin Nurah…?, "firasatku berbicara.
Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke
rumah sakit.
Tidak
ada rekreasi tahun ini. Kami semua harus menunggui
Nurah yang sedang sakit. Lama sekali menunggu kabar
dari rumah sakit dengan harap-harap cemas. Tepat
pukul satu siang, telepon di rumah kami berdering.
Ibu segera mengangkatnya. Suara ayah di seberang, ia
menelpon dari rumah sakit. "Kalian bisa pergi ke rumah
sakit sekarang!," demikian pesan ayah singkat. Kata ibu,
tampak sekali ayah begitu panik, nada suaranya berbeda dari
biasanya. "Mana sopir…?" kami semua terburu-buru: Kami
menyuruh sopir menjalankan mobil dengan cepat. Tapi ah,
jalan yang biasanya terasa dekat bila aku
menikmatinya dalam pejalanan liburan, kini terasa
amat panj ang, panjang dan lama sekali. Jalanan macet
yang biasanya kunanti-nantikan sehingga aku bisa
menengok ke kanan-kiri, cuci mata, kini terasa
menyebalkan. Di sampingku, ibu berdo'a untuk keselamatan
Nurah. "Dia anak shalihah. Ia tidak pernah menyia-nyia kan
waktunya. Ia begitu rajin beribadah", ibu bergumam
sendirian.
Kami
turun di depan pintu rumah sakit. Kami segera masuk
ruangan. Para pasien pada tergeletak lunglai. Di sana
sini terdengar lirih suara rintihan. Ada yang baru
saja masuk karena kecelakaan mobil, ada yang matanya
buta, ada yang mengerang keras. Pemandangan yang
membuat bulu kudukku merinding. Kami naik tangga
eskalator menuju lantai atas. Nurah berada di ruang perawatan
intensif. Di depan pintu terpampang papan peringatan: "Tidak
boleh masuk lebih dari satu orang!" Kami terperangah.
Tak lama kemudian, seorang perawat datang menemui,
kami. Perawat memberitahu kalau kini kondisi Nurah
mulai membaik, setelah beberapa saat sebelumnya tak
sadarkan diri.
Di
tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari
sebuah lubang keciljendela yang ada di pintu, aku
melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku.
Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air
matanya. Waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari
ruang perawatan intensif. Kini tiba giliranku masuk. Dokter
memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku
diberi waktu dua menit. "Assalamu 'alaikum!, bagaimana
keadaanmu Nurah?, tadi malam, engkau baik-baik saja.
Apa yang terjadi denganmu?", aku menghujaninya dengan
pertanyaan. "Alhamdulillah, aku sekarang baik-baik
saja, jawabnya dengan berusaha tersenyum.
"Tapi, mengapa tanganmu dingin sekali, kenapa?" aku menyelidik. Aku
duduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya,
tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku.
"Ma'af, kalau aku mengganggumu!", aku tertunduk.
"Tidak apa-apa. Aku hanya ingat firman Allah Ta'ala: "Dan
bertaut betis(kiri) dengan betis(kanan), kepada
Tuhanmullah pada hari itu kami dihalau".
(Al-Qiyamah: 29-30) Nurah melantunkan ayat suci
Alquran. Aku menguattkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha
untuk tidak menangis dihadapan Nurah, aku membisu." Hanah,
berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap.
Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku
diakhirat…Perjalananku amat jauh tapi bekalku
sedikit sekali". Pertahananku runtuh. Air mataku
tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Ayah
mengkhawatirkan keadaanku. Sebab mereka tak pernah
melihatku menangis seperti itu.
Bersamaan
dengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah
meninggal dunia…. Suasana begitu sepat berubah.
Seperti baru beberapa menit aku bebincang-bincang
dengannya. Kini ia telah meninggalkan kami buat
selama-selamanya. Dan, ia tak akan pernah bertemu lagi
dengan kami. Tak akan pernah pulang lagi. Tidak akan
bersama-sama lagi. Oh Nurah…Suasana dirumah kami digelayuti
duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan
yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga
berdatangan melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi,
siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka
percakapan. Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya
Allah, bagaimana dengan diriku? Apa yang bakal
terjadi pada diriku? Aku tak kuasa lagi, meski
sekedar menangis. Aku ingin memberinya penghormatan terakhir.
Aku ingin menghantarkan salam terakhir. Aku ingin mencium
keningnya. Kini, tak ada sesuatu yang kuingat seai satu
hal. Aku ingat firman Allah yang dibacakannya
kepadaku menjelang kematiannya. "Dan bertaut betis
(kiri) dengan betis (kanan)". Aku kini benar-benar
paham bahwa,"Kepada Tuhanmullah pada hari itu kamu
dihalau" "Aku tidak tahu, ternyata malam itu, adalah
malam terakhir aku menjumpainya di mushallanya.
Malam
ini, aku sendirian di mushalla almarhumah. terbayang
kembali saudara kembarku, Nurah yang demikian baik
kepadaku. Dialah yang senantiasa menghibur
kesedihanku, ikut memahami dn merasakan kegalauanku,
saudari yang selalu mendo'akanku agar aku mendapat
hidayah Allah, saudari yang senantiasa mengalirkan
air mata pada tiap-tiap pertengahan malam, yang selalu
menasihatiku tentang mati, hari perhitungan….ya Allah!
Malam
ini adalah malam pertama bagi Nurah dikuburnya. Ya
Allah, rahmatilah dia, terangilah kuburnya. Ya Allah,
ini mushaf Nurah, …ini sajadahnya…dan ini..ini gaun
merah muda yang pernah dikatakannya padaku, bakal
dijadikan kenangan manis pernikahannya. Aku menangisi
hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia. Aku
menangis terus-menerus, tak bisa berhenti. Aku
berdo'a kepada Allah semoga Dia merahmatiku dan menerima
taubatku. Aku mendo'akan Nurah agar mendapat keteguhan dan
kesenangan di kuburnya, sebagaimana ia begitu sering dan suka
mendo'akanku. Tiba-tiba aku tersentak dengan
pikiranku sendiri. "Apa yang terjadi jika yang
meninggal adalah aku? Bagaimana kesudahanku?" Aku tak
berani mencari jawabannya, ketakutanku memuncak. Aku
menangis, menangis lebih keras lagi. Allahu Akbar, Allnhu Akbar…Adzan
fajar berkumandang. Tetapi, duhai alangkah merdunya
suara panggilan itu kali ini. Aku merasakan kedamaian
dan ketentraman yang mendalam. Aku jawab ucapan
muadzin, lalu segera kuhamparkan lipatan sajadah,
selanjutnya aku shalat Shubuh. Aku shalat seperti keadaan
orang yang hendak berpisah selama-lamanya. Shalat yang pemah
kusaksikan terakhir kali dari saudari kembarku Nurah.Jika
tiba waktu pagi, aku tak menunggu waktu sore dan jika
tiba waktu sore, aku tidak menunggu waktu pagi.
(Dari buku "Wahai Saudariku, "Apa yang menghalangimu untuk berhijab?"
Oleh: Abdul Hamid Al Bilali)
|
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..