Kehidupan sebagai muslim di
Hamburg, Jerman, memang tidak sedikit yang unik. Misalnya, arah
perjalanan orang yang pergi menuju masjid dan orang yang pergi menuju
tempat judi (casino) atau menuju tempat hiburan untuk menikmati tayangan
pornografi, bisa sama dan searah. Lho kenapa? Ya maklum saja, sebab
tidak sedikit masjid di Hamburg memang lokasinya berdekatan dengan
tempat-tempat seperti itu.
Sebut saja masjid yang dikelola warga muslim Indonesia di Hamburg.
Untuk menuju ke sana dari stasiun kereta api utama (Hamburg
Hauptbahnhof), maka rute perjalanan kaki yang umumnya ditempuh adalah
melewati jalan yang namanya Steindamm. Di sepanjang jalan ini dipenuhi
toko bahan makanan, kedai, serta aneka toko pakaian dan barang lain.
Selain itu tempat judi serta tempat-tempat hiburan yang menawarkan
tayangan dan produk pengumbar syahwat pun bertebaran di sepanjang jalan
ini. Tak heran, gambar-gambar serta produk mesum menjadi penghias
kawasan ini.
Bisa dibayangkan ujian berat warga muslim Hamburg. Untuk menuju ke dan pulang dari masjid mesti berhadapan di kanan, kiri, depan, dan belakang, tarikan-tarikan godaan duniawi yang sedemikian berat. Jika tidak mampu bertahan, maka iman akan mudah terkikis dalam perjalanan menuju dan pulang dari masjid.
Masjid-masjid lain di Jerman pun tidak kalah unik, apalagi jika masjid itu bukan merupakan gedung tersendiri, melainkan menyewa ruangan di sebuah gedung bertingkat milik orang lain. Ada masjid yang satu gedung dengan tempat hiburan gemerlapan, hanya beda lantai dan beda ruangan, tapi dengan alamat gedung dan pintu masuk yang sama.
Ada pula masjid bernama Al-Iman di distrik Harburg, Hamburg, yang pintu masuknya persis berhadap-hadapan dengan pintu masuk casino yang bersebarangan. Sehabis shalat dari masjid Al-Iman, maka ketika membuka pintu keluar masjid terpampang di seberang jalan ada casino itu dengan segala pernak pernik yang menghiasinya. Tapi untunglah jamaah rutin masjid itu sepertinya tidak mengamalkan pepatah “keluar pintu Al Iman, masuk pintu casino”. Begitulah, mungkin keadaan dan sulitnya mendapatkan tempat layak untuk sarana peribadatan, menjadikan sebagian masjid di Hamburg berada pada kawasan seperti itu.
Bisa berlembar-lembar barangkali untuk membahas rinci seluk-beluk unik kegiatan pengajian warga Indonesia muslim di Hamburg, sebagiannya telah diceritakan di tulisan sebelumnya, seperti “Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!”. Jika kita kembali ke kisah tentang jawaban atas pertanyaan: “Siapakah yang menciptakan Allah?” sebagaimana diterbitkan hidayatullah.com di artikel sebelumnya lagi, maka tidak ada yang aneh. Karena jawaban yang diberikan sang penceramah kala itu sejatinya hanyalah paparan dari ayat: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy Syuura, 42:11)” ataupun surat Al Ikhlas.
Penceramah memaparkan dengan cara sebagaimana dikisahkan di artikel itu, mungkin karena bahasa dan penyampaian seperti itulah yang diperkirakan akan mudah dipahami oleh mereka. Barangkali dengan istilah singkatnya, “Berdakwah dengan menggunakan bahasa kaumnya.” Ya bahasa yang dapat dimengerti kaum muda-mudi yang tumbuh dan berada di negeri yang mengedepankan pemahaman pikiran, bukti ilmiah, logika, alasan masuk akal, dan dialog dua arah yang tidak terkesan indoktrinasi atau dogmatisasi. Lagipula Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan akal, hati nurani, dan fitrah penciptaan manusia itu sendiri. Islam bukanlah keyakinan buta yang ditanamkan secara paksa melalui indoktrinasi dan dogma.
Peserta pengajian muda mudi Hamburg saat itu terlihat cukup semangat, dipantau dari seringnya peserta mengemukakan pendapatnya. Sejumlah pengalaman dilontarkan oleh beberapa peserta yang masih kuliah S1 di Hamburg yang memiliki lebih dari 10 perguruan tinggi. Saat perbincangan seputar bagaimana menghadapi orang Jerman yang tidak percaya Tuhan, ada salah seorang peserta pengajian yang kuliah di bidang terkait biokimia di Technische Universität Hamburg-Harburg (www.TU-HARBURG.de) menuturkan begini: Hamburg memiliki peta sistem transportasi yang rumit, maka sudah pasti ada yang membuatnya. Nah, sel-sel makhluk hidup memiliki pula peta reaksi biokimiawi yang jauh lebih rumit, yang susah untuk dihafal mahasiswa yang mempelajarinya, maka sudah pastilah ada yang menciptakan.
Memang benar, sistem transportasi yang dikelola ikatan transportasi kota Hamburg (Hamburger Verkehrsverbund, www.HVV.de) memang sekilas terlihat rumit, namun sejatinya rapi dan sangat bagus. Dengan satu tiket, orang bisa menggunakan bus, kereta api listrik, dan kapal penyeberangan feri sekaligus yang bisa dipercaya ketepatan waktu, kelancaran, dan kenyamanannya. Sungguh tidak mungkin peta jaringan transportasi sehebat ini jika tidak ada orang-orang cerdas yang menciptakan.
Demikian pula, di dalam sel makhluk hidup yang amat kecil, aneka reaksi biokimiawi berlangsung melalui jalur-jalur yang rumit, namun rapi dan tidak acak-acakan. Manusia hidup karena adanya reaksi rumit mahasempurna ini di dalam sel-selnya, yang memiliki pula jaringan transportasi zat-zat biokimiawi yang jauh lebih rumit, teratur, canggih, dan tertata rapi. Kerumitan dan kecanggihannya melebihi dari apa yang pernah dihasilkan manusia, termasuk transportasi kota Hamburg sekalipun. Maka sudah pasti ada Wujud Mahacerdas yang menciptakan sel-sel itu, Dialah Allah SWT.
Seorang mahasiswa lain yang menuntut ilmu di Hochschule für Angewandte Wissenschaften Hamburg (www.HAW-HAMBURG.de) melontarkan pengalamannya yang lain lagi: suatu ketika ia duduk berdampingan dengan orang asing yang tidak percaya Tuhan di dalam pesawat yang sedang terbang. Tatkala pesawat mengalami turbulensi atau guncangan, maka para penumpang terlihat memanjatkan doa menurut keyakinan masing-masing. Ia mengisahkan, orang asing yang mengaku tidak percaya Tuhan itu lantas berharap bahwa ia akan dapat selamat.
Sungguh jawaban yang menarik dan jelas untuk dilihat bahwa keimanan kepada Tuhan adalah fitrah manusia yang tidak dapat dipungkiri. Orang yang mengaku ateis itu pun tetap berharap selamat dan tidak celaka. Ini artinya bahwa dalam kondisi terjepit seperti itu muncul harapannya bahwa ada kekuatan mahadahsyat atau sebutlah keajaiban yang entah bagaimana diharapkan bakal mampu menyelamatkan pesawat terbang yang ditumpanginya dari terpaan gangguan atmosfer selama penerbangan. Kekuatan mahadahsyat, yang mampu turut campur dalam penyelamatan benda sebesar pesawat terbang, dari guncangan lapisan atmosfer yang sangat besar. Siapakah yang mempunyai sifat dan ciri-ciri sedemikian mahahebat? Tidak ada makhluk satu pun di dunia ini. Lantas siapa lagi kalau bukan Tuhan, Sang Mahaperkasa, Mahakuat, dan Mahakuasa atas segala yang diciptakan-Nya! Dialah satu-satuNya harapan terakhir yang mampu turut campur mengendalikan pesawat terbang, atmosfer, dan nyawa manusia yang sungguh teramat mahakecil di hadapan Kekuasaan-Nya yang Mahadahsyat!
Penceramah terlihat asyik juga menikmati lontaran-lontaran lisan pengalaman para peserta pengajian tersebut. Sungguh nikmat memang jika peserta pengajian turut serta bersumbangsih, berbagi pengalaman berharga, sehingga ada komunikasi dua arah, saling berbagi ilmu dan pengalaman berharga. Hal ini dapat menghilangkan kesan menggurui, membatasi kebebasan berpendapat, memaksakan kehendak, dogmatisasi atau indoktrinasi.
Penceramah yang juga mahasiswa bidang bioteknologi di universitas yang lain lagi di hamburg, Universität Hamburg (www.UNI-HAMBURG.de), menambahkan bahwa orang yang disebut kafir itu sejatinya tahu secara akal bahwa Tuhan itu ada. Namun hatinya menolak untuk mengakui apa yang sejatinya dibenarkan akalnya itu. Kafir mirip bahasa Inggris to cover. Dalam bahasa Arab kafir punya arti lain, yakni petani, karena petani berkegiatan menanam benih, menutup benih dengan tanah. Nah orang kafir itu menutup hatinya dari menerima kebenaran yang diketahui akalnya. Hatinya ingkar, sombong, atau terkena penyakit lain sehingga tertutup dari cahaya kebenaran, tapi bukan akalnya yang bodoh atau tidak tahu kebenaran itu. Wallaahu a’lam. Dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman
Bisa dibayangkan ujian berat warga muslim Hamburg. Untuk menuju ke dan pulang dari masjid mesti berhadapan di kanan, kiri, depan, dan belakang, tarikan-tarikan godaan duniawi yang sedemikian berat. Jika tidak mampu bertahan, maka iman akan mudah terkikis dalam perjalanan menuju dan pulang dari masjid.
Masjid-masjid lain di Jerman pun tidak kalah unik, apalagi jika masjid itu bukan merupakan gedung tersendiri, melainkan menyewa ruangan di sebuah gedung bertingkat milik orang lain. Ada masjid yang satu gedung dengan tempat hiburan gemerlapan, hanya beda lantai dan beda ruangan, tapi dengan alamat gedung dan pintu masuk yang sama.
Ada pula masjid bernama Al-Iman di distrik Harburg, Hamburg, yang pintu masuknya persis berhadap-hadapan dengan pintu masuk casino yang bersebarangan. Sehabis shalat dari masjid Al-Iman, maka ketika membuka pintu keluar masjid terpampang di seberang jalan ada casino itu dengan segala pernak pernik yang menghiasinya. Tapi untunglah jamaah rutin masjid itu sepertinya tidak mengamalkan pepatah “keluar pintu Al Iman, masuk pintu casino”. Begitulah, mungkin keadaan dan sulitnya mendapatkan tempat layak untuk sarana peribadatan, menjadikan sebagian masjid di Hamburg berada pada kawasan seperti itu.
Bisa berlembar-lembar barangkali untuk membahas rinci seluk-beluk unik kegiatan pengajian warga Indonesia muslim di Hamburg, sebagiannya telah diceritakan di tulisan sebelumnya, seperti “Tidak Mungkin Menemukan Agama Paling Benar!”. Jika kita kembali ke kisah tentang jawaban atas pertanyaan: “Siapakah yang menciptakan Allah?” sebagaimana diterbitkan hidayatullah.com di artikel sebelumnya lagi, maka tidak ada yang aneh. Karena jawaban yang diberikan sang penceramah kala itu sejatinya hanyalah paparan dari ayat: “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Asy Syuura, 42:11)” ataupun surat Al Ikhlas.
Penceramah memaparkan dengan cara sebagaimana dikisahkan di artikel itu, mungkin karena bahasa dan penyampaian seperti itulah yang diperkirakan akan mudah dipahami oleh mereka. Barangkali dengan istilah singkatnya, “Berdakwah dengan menggunakan bahasa kaumnya.” Ya bahasa yang dapat dimengerti kaum muda-mudi yang tumbuh dan berada di negeri yang mengedepankan pemahaman pikiran, bukti ilmiah, logika, alasan masuk akal, dan dialog dua arah yang tidak terkesan indoktrinasi atau dogmatisasi. Lagipula Islam adalah agama fitrah, yang sesuai dengan akal, hati nurani, dan fitrah penciptaan manusia itu sendiri. Islam bukanlah keyakinan buta yang ditanamkan secara paksa melalui indoktrinasi dan dogma.
Peserta pengajian muda mudi Hamburg saat itu terlihat cukup semangat, dipantau dari seringnya peserta mengemukakan pendapatnya. Sejumlah pengalaman dilontarkan oleh beberapa peserta yang masih kuliah S1 di Hamburg yang memiliki lebih dari 10 perguruan tinggi. Saat perbincangan seputar bagaimana menghadapi orang Jerman yang tidak percaya Tuhan, ada salah seorang peserta pengajian yang kuliah di bidang terkait biokimia di Technische Universität Hamburg-Harburg (www.TU-HARBURG.de) menuturkan begini: Hamburg memiliki peta sistem transportasi yang rumit, maka sudah pasti ada yang membuatnya. Nah, sel-sel makhluk hidup memiliki pula peta reaksi biokimiawi yang jauh lebih rumit, yang susah untuk dihafal mahasiswa yang mempelajarinya, maka sudah pastilah ada yang menciptakan.
Memang benar, sistem transportasi yang dikelola ikatan transportasi kota Hamburg (Hamburger Verkehrsverbund, www.HVV.de) memang sekilas terlihat rumit, namun sejatinya rapi dan sangat bagus. Dengan satu tiket, orang bisa menggunakan bus, kereta api listrik, dan kapal penyeberangan feri sekaligus yang bisa dipercaya ketepatan waktu, kelancaran, dan kenyamanannya. Sungguh tidak mungkin peta jaringan transportasi sehebat ini jika tidak ada orang-orang cerdas yang menciptakan.
Demikian pula, di dalam sel makhluk hidup yang amat kecil, aneka reaksi biokimiawi berlangsung melalui jalur-jalur yang rumit, namun rapi dan tidak acak-acakan. Manusia hidup karena adanya reaksi rumit mahasempurna ini di dalam sel-selnya, yang memiliki pula jaringan transportasi zat-zat biokimiawi yang jauh lebih rumit, teratur, canggih, dan tertata rapi. Kerumitan dan kecanggihannya melebihi dari apa yang pernah dihasilkan manusia, termasuk transportasi kota Hamburg sekalipun. Maka sudah pasti ada Wujud Mahacerdas yang menciptakan sel-sel itu, Dialah Allah SWT.
Seorang mahasiswa lain yang menuntut ilmu di Hochschule für Angewandte Wissenschaften Hamburg (www.HAW-HAMBURG.de) melontarkan pengalamannya yang lain lagi: suatu ketika ia duduk berdampingan dengan orang asing yang tidak percaya Tuhan di dalam pesawat yang sedang terbang. Tatkala pesawat mengalami turbulensi atau guncangan, maka para penumpang terlihat memanjatkan doa menurut keyakinan masing-masing. Ia mengisahkan, orang asing yang mengaku tidak percaya Tuhan itu lantas berharap bahwa ia akan dapat selamat.
Sungguh jawaban yang menarik dan jelas untuk dilihat bahwa keimanan kepada Tuhan adalah fitrah manusia yang tidak dapat dipungkiri. Orang yang mengaku ateis itu pun tetap berharap selamat dan tidak celaka. Ini artinya bahwa dalam kondisi terjepit seperti itu muncul harapannya bahwa ada kekuatan mahadahsyat atau sebutlah keajaiban yang entah bagaimana diharapkan bakal mampu menyelamatkan pesawat terbang yang ditumpanginya dari terpaan gangguan atmosfer selama penerbangan. Kekuatan mahadahsyat, yang mampu turut campur dalam penyelamatan benda sebesar pesawat terbang, dari guncangan lapisan atmosfer yang sangat besar. Siapakah yang mempunyai sifat dan ciri-ciri sedemikian mahahebat? Tidak ada makhluk satu pun di dunia ini. Lantas siapa lagi kalau bukan Tuhan, Sang Mahaperkasa, Mahakuat, dan Mahakuasa atas segala yang diciptakan-Nya! Dialah satu-satuNya harapan terakhir yang mampu turut campur mengendalikan pesawat terbang, atmosfer, dan nyawa manusia yang sungguh teramat mahakecil di hadapan Kekuasaan-Nya yang Mahadahsyat!
Penceramah terlihat asyik juga menikmati lontaran-lontaran lisan pengalaman para peserta pengajian tersebut. Sungguh nikmat memang jika peserta pengajian turut serta bersumbangsih, berbagi pengalaman berharga, sehingga ada komunikasi dua arah, saling berbagi ilmu dan pengalaman berharga. Hal ini dapat menghilangkan kesan menggurui, membatasi kebebasan berpendapat, memaksakan kehendak, dogmatisasi atau indoktrinasi.
Penceramah yang juga mahasiswa bidang bioteknologi di universitas yang lain lagi di hamburg, Universität Hamburg (www.UNI-HAMBURG.de), menambahkan bahwa orang yang disebut kafir itu sejatinya tahu secara akal bahwa Tuhan itu ada. Namun hatinya menolak untuk mengakui apa yang sejatinya dibenarkan akalnya itu. Kafir mirip bahasa Inggris to cover. Dalam bahasa Arab kafir punya arti lain, yakni petani, karena petani berkegiatan menanam benih, menutup benih dengan tanah. Nah orang kafir itu menutup hatinya dari menerima kebenaran yang diketahui akalnya. Hatinya ingkar, sombong, atau terkena penyakit lain sehingga tertutup dari cahaya kebenaran, tapi bukan akalnya yang bodoh atau tidak tahu kebenaran itu. Wallaahu a’lam. Dikisahkan langsung oleh Abu Ammar dari Hamburg, Jerman
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..