Poligami, sebuah kata yang
mengandung fenomena tersendiri dalam benak laki-laki ataupun perempuan.
Sebagian beranggapan poligami adalah sebuah kekuatan, sebagian yang lain
merasakan ketakutan. Poligami sebenarnya sudah lama menjadi fenomena
berabad-abad lamanya bahkan ketika sebelum masehi, orang biasa melakukan
hal ini. Maka tidak heran jika jaman dahulu orang berpoligami banyak
atau mempunyai isteri lebih dari satu, bahkan 10 atau 100. Tidak hanya
orang biasa namun juga dilakukan oleh para Nabi, seperti Nabi Daud as
dan Nabi-nabi lainnya.
Bagaimana sebenarnya Islam mengajarkan atau lebih tepatnya
mendudukkan poligami ini, khususnya untuk jaman sekarang dan kita umat
Muhammad Rasulullah? Banyak dalil yang diungkapkan dari berbagai sudut
pandang, yang intinya tidak ada yang mengatakan poligami adalah haram.
Jelas ada ayat Quran yang memperbolehkan (mubah) dalam berpoligami.
Dalam Surat An-Nisa (4:3). “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku
adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),
maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Allah mengatakan seperti hal ini tentunya menyediakan juga contoh pada manusia, agar dalam implementasi tidak salah kaprah atau tidak mengambil penafsiran sendiri. Maka siapakah yang menjadi contoh dalam berpoligami ? Tentunya umat Islam merujuk pada Rasulullah (Nabi Muhammad saw) dan Nabi Ibrahim.as.
Kita lihat kehidupan Rasulullah saw. Saya akan mengungkapkan fakta yang sebagian besar kita belum menyadari bahkan belum mengetahui. Fakta teladan berpoligami dari Rasulullah, yaitu beliau tidak berpoligami saat masih bersama Khadijah, isteri pertama beliau.
Bagi sebagian manusia, jika menggunakan hati nuraninya dengan tajam maka akan mengakui dan menjunjung tinggi fenomena ini. Lihatlah kehidupan Rasulullah begitu setia dan cintanya pada isteri pertamanya, Khadijah, sampai-sampai ketika Rasul sudah mempunyai banyak isteri, masih saja dikenangnya. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Khadijah walaupun itu semulianya Aisyah ra. Sehingga suatu waktu, Aisyah ra, pernah cemburu berat kepada Rasul. Bagaimana kejadiannya ?
Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori, bahwa Aisyah berkata, ”Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi saw seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau menyebut namanya, lalu aku berkata ;”Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu.” Beliau kemudian bersabda: ”Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku.”
Suatu kali, Rasulullah menyebut-nyebut kata dengan pelan dan halus, “Khadijah, Khadijah” dari lisannya dalam keadaan sendiri termenung. Aisyah ra, mendengar Rasul menyebut-nyebut nama Khadijah. Fitrahnya muncul sebagai seorang wanita seperti Aisyah, kecemburuan, dengan mengatakan “buat apa mengenang wanita tua, renta”. Simaklah jawab Rasul selanjutnya itu, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku”.
Mengapa Rasul menjawab seperti itu, karena Rasul terkenang dengan pengorbanan dan setianya isteri pertama beliau, Khadijah. Menyiapkan makanan ketika beliau berkhulwat di Gua Hira. Menyelimuti beliau ketika kedinginan menyambut datangnya wahyu-wahyu pertama, dimana saat-saat Rasul mengalami guncangan dan penuh takut menyelimuti beliau. Memberikan putra-putri yang pertama dalam kehidupan beliau. Mengantarkan beliau pada paman Khadijah sendiri, sehingga beliau mendapat keyakinan bahwa beliau adalah utusan Allah. Dan yang paling penting kata Nabi, adalah Khadijahlah yang paling pertama percaya dan beriman ketika orang-orang tidak percaya pada Nabi, bahkan banyak yang menuduhnya gila. Khadijahlah pertama kali yang menjadi bagian dari perjalanan hidup Nabi.
Dengan setianya seperti ini, Nabi tidak berani melakukan poligami atau mengambil isteri lagi, yang walaupun saat itu Nabi masih muda dan energik, Khadijah sudah tua.
Apalagi saat sebelum menjadi Rasul, Nabi sudah menjadi konglomerat yang kapanpun bisa mengambil isteri lagi. Nabi juga masih melakukan perjalanan-perjalanan jauh guna kepentingan dagangnya, lama meninggalkan isteri pertamanya berdagang berbulan-bulan. Tidak ada komunikasi canggih seperti saat ini, tapi Nabi tetap bisa setia, tetap berkomunikasi batin (kesetiaan dan kenangan) pada isterinya yang pertama.
Ketika diangkat menjadi Rasul pun sampai tahun ke 10 kenabian, saat Khadijah wafat, Rasul tetap setia mendampingi isterinya dari waktu ke waktu. Betapa indahnya rasa cinta dan setianya Rasul pada isteri pertamanya. Tidak ada wacana poligami yang dilontarkan Nabi pada Khadijah walaupun saat itu semua orang disekitanya melakukannya.
Bagaimana dengan isteri pertama teman-teman ? Masih ingatkah jasa-jasanya ? Siapa pertama kali yang akan setia mendengarkan curahan hati teman-teman ? Siapa pula yang mengurus teman-teman sehingga bisa tampil gagah, segar bugar menyongsong hari ? Siapa pula yang meyakinkan diri ketika gundah gulana, ketika hilang kepercayaan dari orang maupun diri, tapi dia memberikannya, merangkul, memberikan sepenuh hati dan fikirannya pada teman-teman ? Siapakah yang mengobati ketika teman-teman terluka ?
Sabdanya, “Mukmin yang paling sempurna adalah Mukmin yang paling baik akhlaknya dan paling lembut terhadap keluarganya”. Keluarga adalah isteri pertama dan utama, kemudian putra-putri.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi kalau kamu biarkan saja, maka kamu akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok. Hadis tersebut menunjukkan keteladanan beliau dalam menghormati istrinya, dengan menampakkan sikap lembut, tidak mengkritik hal-hal yang tidak perlu untuk dikritik, memaafkan kesalahannya, dan memperbaikinya dengan kesabaran. Bila terpaksa harus bertindak tegas, beliau lakukan hal itu disertai dengan kelembutan dan kerelaan. Sikap tegas dan keras untuk mengobati keburukan dalam diri wanita, sedangkan kelembutan dan kasih sayang untuk mengobati kelemahan dalam dirinya.
Menghormati isteri… berarti menghormati pula perasaannya. Sudahkah kita mempunyai kecerdasan hati dan akal tentang perasaannya bila menganjurkan dia agar kita bisa berpoligami ? Sekedar wacana dari sang suami saja, isteri sudah tidak nyaman perasaannya. Padahal Islam identik sekali dengan keamanan dan kenyamanan untuk siapapun terlebih untuk orang yang kita cintai.
Kembali kepada permasalahan kedudukan poligami. Poligami adalah mubah, maka sikap dan pernyataan kita hendaknya sejalan dengan status “mubah”nya poligami tersebut. Jangan sampai penyikapan kita menjadi seperti “sunnah” yang dianjurkan, atau lebih dahsyatnya seperti “wajib” sehingga banyak sebagian kalangan menyikapi dan menyatakan mempunyai isteri lebih dari satu adalah seperti sunnah atau wajib. Penganjuran poligami dimana-mana adalah sebuah sikap yang melebihi kapasitasnya sebagai “mubah”. Apalagi mempersiapkan isteri pertama untuk mau menerima poligami adalah sikap yang melebihi kadarnya. Tidakkah masih banyak potensi yang kita bisa lakukan untuk mencapai lebih besar lagi, kemakmuran dan kebahagiaan umat bukan sekedar kebahagiaan seorang diri.
Tidak boleh juga kita mengatakan dan menyikapi ‘mubah’nya poligami seperti seolah-olah makruh ataupun haram. Ini yang disikapi oleh sebagian orang takutnya dengan poligami.
Allah memberikan pilihan kita apakah cukup beristeri satu ataupun berpoligami. Tapi Allah juga memperlihatkan bagaimana fakta lain di atas dari Nabi tentang poligaminya beliau yang tidak boleh kita abaikan sebagaimana mengingkari ayat diperbolehkannya poligami.
Jadi berhitung-hitunglah terlebih dahulu jika ingin berpoligami. Teladan Nabi mengajarkan hitung-hitunglah terlebih dahulu dengan kecerdasan akal, hati, spiritual, emosi kita untuk dan tentang isteri pertama kita. Dosa apabila kita berani mengambil tanggung jawab lebih, ternyata kita tidak sanggup untuk memikulnya, tidak dapat berlaku seadil-adilnya. Tanggung jawab mempunyai isteri lebih dari satu adalah lebih besar di dunia ini dan proses pertanggungjawaban di hadapan Allah akan lebih berat.
Tidak hanya pemimpin-pemimpin negara kita saja yang akan dimintai tanggung jawab tapi juga diri kita karena kita berani dan mau memilih berpoligami. Tanggung jawab lahir karena kita mau menerimanya.
Allah mengatakan seperti hal ini tentunya menyediakan juga contoh pada manusia, agar dalam implementasi tidak salah kaprah atau tidak mengambil penafsiran sendiri. Maka siapakah yang menjadi contoh dalam berpoligami ? Tentunya umat Islam merujuk pada Rasulullah (Nabi Muhammad saw) dan Nabi Ibrahim.as.
Kita lihat kehidupan Rasulullah saw. Saya akan mengungkapkan fakta yang sebagian besar kita belum menyadari bahkan belum mengetahui. Fakta teladan berpoligami dari Rasulullah, yaitu beliau tidak berpoligami saat masih bersama Khadijah, isteri pertama beliau.
Bagi sebagian manusia, jika menggunakan hati nuraninya dengan tajam maka akan mengakui dan menjunjung tinggi fenomena ini. Lihatlah kehidupan Rasulullah begitu setia dan cintanya pada isteri pertamanya, Khadijah, sampai-sampai ketika Rasul sudah mempunyai banyak isteri, masih saja dikenangnya. Tidak ada yang bisa menggantikan posisi Khadijah walaupun itu semulianya Aisyah ra. Sehingga suatu waktu, Aisyah ra, pernah cemburu berat kepada Rasul. Bagaimana kejadiannya ?
Sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhori, bahwa Aisyah berkata, ”Aku tidak pernah cemburu terhadap wanita seperti kecemburuanku terhadap Khadijah, karena Nabi saw seringkali menyebut namanya. Suatu hari beliau menyebut namanya, lalu aku berkata ;”Apa yang engkau lakukan terhadap wanita tua yang merah kedua sudut mulutnya? Padahal Allah telah memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadamu.” Beliau kemudian bersabda: ”Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku.”
Suatu kali, Rasulullah menyebut-nyebut kata dengan pelan dan halus, “Khadijah, Khadijah” dari lisannya dalam keadaan sendiri termenung. Aisyah ra, mendengar Rasul menyebut-nyebut nama Khadijah. Fitrahnya muncul sebagai seorang wanita seperti Aisyah, kecemburuan, dengan mengatakan “buat apa mengenang wanita tua, renta”. Simaklah jawab Rasul selanjutnya itu, “Demi Allah, Allah tidak memberikan ganti yang lebih baik darinya kepadaku”.
Mengapa Rasul menjawab seperti itu, karena Rasul terkenang dengan pengorbanan dan setianya isteri pertama beliau, Khadijah. Menyiapkan makanan ketika beliau berkhulwat di Gua Hira. Menyelimuti beliau ketika kedinginan menyambut datangnya wahyu-wahyu pertama, dimana saat-saat Rasul mengalami guncangan dan penuh takut menyelimuti beliau. Memberikan putra-putri yang pertama dalam kehidupan beliau. Mengantarkan beliau pada paman Khadijah sendiri, sehingga beliau mendapat keyakinan bahwa beliau adalah utusan Allah. Dan yang paling penting kata Nabi, adalah Khadijahlah yang paling pertama percaya dan beriman ketika orang-orang tidak percaya pada Nabi, bahkan banyak yang menuduhnya gila. Khadijahlah pertama kali yang menjadi bagian dari perjalanan hidup Nabi.
Dengan setianya seperti ini, Nabi tidak berani melakukan poligami atau mengambil isteri lagi, yang walaupun saat itu Nabi masih muda dan energik, Khadijah sudah tua.
Apalagi saat sebelum menjadi Rasul, Nabi sudah menjadi konglomerat yang kapanpun bisa mengambil isteri lagi. Nabi juga masih melakukan perjalanan-perjalanan jauh guna kepentingan dagangnya, lama meninggalkan isteri pertamanya berdagang berbulan-bulan. Tidak ada komunikasi canggih seperti saat ini, tapi Nabi tetap bisa setia, tetap berkomunikasi batin (kesetiaan dan kenangan) pada isterinya yang pertama.
Ketika diangkat menjadi Rasul pun sampai tahun ke 10 kenabian, saat Khadijah wafat, Rasul tetap setia mendampingi isterinya dari waktu ke waktu. Betapa indahnya rasa cinta dan setianya Rasul pada isteri pertamanya. Tidak ada wacana poligami yang dilontarkan Nabi pada Khadijah walaupun saat itu semua orang disekitanya melakukannya.
Bagaimana dengan isteri pertama teman-teman ? Masih ingatkah jasa-jasanya ? Siapa pertama kali yang akan setia mendengarkan curahan hati teman-teman ? Siapa pula yang mengurus teman-teman sehingga bisa tampil gagah, segar bugar menyongsong hari ? Siapa pula yang meyakinkan diri ketika gundah gulana, ketika hilang kepercayaan dari orang maupun diri, tapi dia memberikannya, merangkul, memberikan sepenuh hati dan fikirannya pada teman-teman ? Siapakah yang mengobati ketika teman-teman terluka ?
Sabdanya, “Mukmin yang paling sempurna adalah Mukmin yang paling baik akhlaknya dan paling lembut terhadap keluarganya”. Keluarga adalah isteri pertama dan utama, kemudian putra-putri.
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Jika kamu berusaha meluruskannya, maka kamu akan mematahkannya. Tetapi kalau kamu biarkan saja, maka kamu akan menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok. Hadis tersebut menunjukkan keteladanan beliau dalam menghormati istrinya, dengan menampakkan sikap lembut, tidak mengkritik hal-hal yang tidak perlu untuk dikritik, memaafkan kesalahannya, dan memperbaikinya dengan kesabaran. Bila terpaksa harus bertindak tegas, beliau lakukan hal itu disertai dengan kelembutan dan kerelaan. Sikap tegas dan keras untuk mengobati keburukan dalam diri wanita, sedangkan kelembutan dan kasih sayang untuk mengobati kelemahan dalam dirinya.
Menghormati isteri… berarti menghormati pula perasaannya. Sudahkah kita mempunyai kecerdasan hati dan akal tentang perasaannya bila menganjurkan dia agar kita bisa berpoligami ? Sekedar wacana dari sang suami saja, isteri sudah tidak nyaman perasaannya. Padahal Islam identik sekali dengan keamanan dan kenyamanan untuk siapapun terlebih untuk orang yang kita cintai.
Kembali kepada permasalahan kedudukan poligami. Poligami adalah mubah, maka sikap dan pernyataan kita hendaknya sejalan dengan status “mubah”nya poligami tersebut. Jangan sampai penyikapan kita menjadi seperti “sunnah” yang dianjurkan, atau lebih dahsyatnya seperti “wajib” sehingga banyak sebagian kalangan menyikapi dan menyatakan mempunyai isteri lebih dari satu adalah seperti sunnah atau wajib. Penganjuran poligami dimana-mana adalah sebuah sikap yang melebihi kapasitasnya sebagai “mubah”. Apalagi mempersiapkan isteri pertama untuk mau menerima poligami adalah sikap yang melebihi kadarnya. Tidakkah masih banyak potensi yang kita bisa lakukan untuk mencapai lebih besar lagi, kemakmuran dan kebahagiaan umat bukan sekedar kebahagiaan seorang diri.
Tidak boleh juga kita mengatakan dan menyikapi ‘mubah’nya poligami seperti seolah-olah makruh ataupun haram. Ini yang disikapi oleh sebagian orang takutnya dengan poligami.
Allah memberikan pilihan kita apakah cukup beristeri satu ataupun berpoligami. Tapi Allah juga memperlihatkan bagaimana fakta lain di atas dari Nabi tentang poligaminya beliau yang tidak boleh kita abaikan sebagaimana mengingkari ayat diperbolehkannya poligami.
Jadi berhitung-hitunglah terlebih dahulu jika ingin berpoligami. Teladan Nabi mengajarkan hitung-hitunglah terlebih dahulu dengan kecerdasan akal, hati, spiritual, emosi kita untuk dan tentang isteri pertama kita. Dosa apabila kita berani mengambil tanggung jawab lebih, ternyata kita tidak sanggup untuk memikulnya, tidak dapat berlaku seadil-adilnya. Tanggung jawab mempunyai isteri lebih dari satu adalah lebih besar di dunia ini dan proses pertanggungjawaban di hadapan Allah akan lebih berat.
Tidak hanya pemimpin-pemimpin negara kita saja yang akan dimintai tanggung jawab tapi juga diri kita karena kita berani dan mau memilih berpoligami. Tanggung jawab lahir karena kita mau menerimanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..