Secara bahasa
talfiq berarti melipat. Sedangkan yang dimaksud dengan talfiq secara
syar’i adalah mencampur-adukkan pendapat seorang ulama dengan pendapat
ulama lain, sehingga tidak seorang pun dari mereka yang membenarkan
perbuatan yang dilakukan tersebut
Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:
ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)
“talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17)
Muhammad Amin al-Kurdi mengatakan:
(الخامس) عدم التلفيق بأن لايلفق في قضية واحدة ابتداء ولادوامابين قولين يتولدمنهماحقيقة لايقول بهاصاحبهما (تنويرالقلوب , 397)
“(syarat kelima dari taqlid) adalah
tidak talfiq, yaitu tidak mencampur antara dua pendapat dalam satu
qadliyah (masalah), baik sejak awal, pertengahan dan seterusnya, yang
nantinya, dari dua pendapat itu akan menimbulkan satu amaliyah yang tak
pernah dikatakan oleh orang bberpendapat.” (Tanwir al-Qulub, 397)
Jelasnya, talfiq adalah melakukan suatu
perbuatan atas dasar hukum yang merupakan gabungan dua madzhab atau
lebih. Contohnya sebagai berikut:
a. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.
a. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi’I dengan mengusap sebagian (kurang dari seperempat) kepala. Kemudian dia menyentuh kulit wanita ajnabiyyah (bukan mahram-nya), dan langsung shalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu. Perbuatan ini disebut talfiq, karena menggabungkan pendapatnya Imam Syafi’I dan Hanafi dalam masalah wudlu. Yang pada akhirnya, kedua Imam tersebut sama-sama tidak mengakui bahwa gabungan itu merupakan pendapatnya. Sebab, Imam Syafi’I membatalkan wudlu seseorang yang menyentuh kulit lain jenis. Sementara Imam Hanafi tidak mengesahkan wudlu seseorang yang hanya mengusap sebgaian kepala.
b. Seseorang berwudlu dengan mengusap
sebagian kepala, atau tidak menggosok anggota wudlu karena ikut madzhab
imam Syafi’i. lalu dia menyentuh anjing, karena ikut madzhab Imam Malik
yang mengatakan bahwa anjing adalah suci. Ketika dia shalat, maka kedua
imam tersebut tentu sama-sama akan membatalkannya. Sebab, menurut Imam
Malik wudlu itu harus dengan mengusap seluruh kepala dan juga dengan
menggosok anggota wudlu. Wudlu ala Imam Syafi’I, menurut Imam Malik
adalah tidak sah. Demikian juga anjing menurut Imam Syafi’i termasuk
najis mughallazhah (najis yang berat). Maka ketika menyentuh anjing lalu
shalat, shalatnya tidak sah. Sebab kedua imam itu tidak menganggap sah
shalat yang dilakukan itu.
Talfiq semacam itu dilarang agama. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab I’anah al-Thalibin:
ويمتنع التلفيق في مسئلة كأن قلدمالكا في طهارة الكلب والشافعي في بعض الرأس في صلاة واحدة (اعانة الطالبين , ج 1 ص 17)
“talfiq dalam satu masalah itu dilarang, seperti ikut pada Imam Malik dalam sucinya anjing dan ikut Imam Syafi’I dalam bolehnya mengusap sebagian kepala untuk mengerjakan shalat.” (I’anah al-Thalibin, juz 1, hal 17)
Sedangkan tujuan pelarangan itu adalah agar
tidak terjadi tatabbu’ al-rukhash (mencari yang mudah), tidak
memanjakan umat Islam untuk mengambil yang ringan-ringan. Sehingga tidak
akan timbul tala’ub (main-main) di dalam hukum agama. Atas dasar ini
maka sebenarnya talfiq yang dimunculkan bukan untuk mengekang kebebasan
umat Islam untuk memilih madzhab. Bukan pula untuk melestarikan sikap
pembelaan dan fanatisme terhadap madzhab tertentu. Sebab talfiq ini
dimunculkan dalam rangka menjaga kebebasan bermadzhab agar tidak
disalahpahami oleh sebagian orang.
Untuk menghindari adanya talfiq yang
dilarang ini, maka diperlukan adanya suatu penetapan hukum dengan
memilih salah satu madzhab dari madzahib al-arba’ah yang relevan dengan
kondisi dan situasi Indonesia. Misalnya, dalam persoalan shalat (mulai
dari syarat, rukun dan batalnya) ikut madzhab Syafi’i. untuk persoalan
sosial kemasyarakatan mengikuti madzhab Hanafi. Sebab, diakui atau tidak
bahwa kondisi Indonesia mempunyai cirri khas tersendiri. Tuntutan
kemashlahatan yang ada berbeda dari satu tempat dengan tempat lain.
sumber: Muhyiddin Abdusshomad, Fiqih Tradisionalis, Malang:Pustaka Bayan, 2004,
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..