Judul : Negeri 5 Menara
Genre : Drama
Produser : Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Produksi : KG PRODUCTION
Pemain : David Chalik, Lulu Tobing, Donny Alamsyah, Ikang Fauzi, Andikha Pratama, Gazza Zubizareta (Alif), Ernestsan G Samudera (Said), Billy Sandi (Baso), Rizki Ramdani (Atang), Baharis Adnanda Putra (Dulmadjid), Jiofani Andre Lubis (Raja)
Durasi : 120 menit
Genre : Drama
Produser : Aoura Lovenson Chandra, Dinna Jasanti Dan Salman Aristo
Sutradara : Affandi Abdul Rachman
Produksi : KG PRODUCTION
Pemain : David Chalik, Lulu Tobing, Donny Alamsyah, Ikang Fauzi, Andikha Pratama, Gazza Zubizareta (Alif), Ernestsan G Samudera (Said), Billy Sandi (Baso), Rizki Ramdani (Atang), Baharis Adnanda Putra (Dulmadjid), Jiofani Andre Lubis (Raja)
Durasi : 120 menit
Film
yang diadaptasi langsung dari novel dengan judul yang sama karya
A.Fuadi ini tayang perdana 1 Maret 2012. Film yang mengisahkan
perjuangan Alif Fikri, putra dari kampung Maninjau, Sumatera Barat yang
terpaksa mengikuti kehendak orang tuanya untuk disekolahkan di sebuah
pesantren. Dengan hasil penjualan kerbau ayahnya, Alif dan ayahnya
berangkat ke Pondok Madani, Ponorogo untuk menjalani tes penerimaan dan
akhirnya lulus.
Di Pondok Madani
inilah Alif bertemu dengan teman-teman Shahibul Menara-nya. Atang,
Raja, Baso, Dulmajid dan Said. Bersama-sama mereka melukiskan impian
dengan awan-awan di langit, tepat di bawah menara tempat mereka selalu
berkumpul. Mereka pun berjanji di suatu saat nanti akan berfoto dengan
masing-masing menara impiannya.
Konflik Batin dan Dunia Pesantren
Dari novelnya, sebenarnya yang menjadi tokoh utama adalah Alif. Alif dengan konflik batinnya antara sekolah di Pondok Madani dan sekolah di SMA bersama sahabatnya Randai, adalah inti cerita. Namun ini kemudian dieksplorasi oleh pihak sutradara dengan menguatkan kisah Baso. Sisi konflik batin Alif tidak digambarkan dengan kuat. Bahkan diawal film pun benar-benar kurang menggambarkan konflik batin tersebut.
Dari novelnya, sebenarnya yang menjadi tokoh utama adalah Alif. Alif dengan konflik batinnya antara sekolah di Pondok Madani dan sekolah di SMA bersama sahabatnya Randai, adalah inti cerita. Namun ini kemudian dieksplorasi oleh pihak sutradara dengan menguatkan kisah Baso. Sisi konflik batin Alif tidak digambarkan dengan kuat. Bahkan diawal film pun benar-benar kurang menggambarkan konflik batin tersebut.
Film ini lebih berfokus kisah persahabatan para Shahibul Menara dengan mantra sakti Man Jadda Wa Jada
selama di Pondok Madani. Secara keseluruhan, film ini memang berlatar
di Pondok Madani. Namun, alih-alih mewujudkan suasana pesantren,
ternyata itu masih terasa kurang greget. Walaupun tampilan pesantren
sebagai latar belakang utama sudah memenuhi, namun suasananya masih
dirasa ada yang kurang. Feel-nya ga dapet. Yang terjadi hanya
sebagian besar dipenuhi dengan adegan lari-larian para santri ketika
lonceng dibunyikan atau pada saat bubaran usai sholat. Justru yang
memberikan nuansa santri seperti pelajaran di kelas, interaksi dengan
bahasa arab dan bahasa inggris hanya sekedar lewat saja. Begitu pula
dengan adegan ketika berada di kamar asrama untuk belajar keras setiap
malamnya merapalkan pelajaran bahasa arab yang sangat sulit bagi Alif.
Berbeda
Di film juga bahkan ada sedikit yang berbeda dengan novelnya. Misalnya ketika wawancara dan foto bersama Sarah, keponakan Kiayi Rais. Wawancara yang dilakukannya berjalan hingga usai dan berakhir dengan foto bersama keluarga Kiayi Rais. Alif pun berdiri di samping Sarah. Ini untuk membuktikan kepada temannya bahwa Alif bisa berfoto bersama Sarah. Namun pada film, itu sama sekali tidak ada, diganti dengan menonjolkan ke-keki-an Alif ketika meminta Sarah untuk menggunakan kamera mode otomatis.
Di film juga bahkan ada sedikit yang berbeda dengan novelnya. Misalnya ketika wawancara dan foto bersama Sarah, keponakan Kiayi Rais. Wawancara yang dilakukannya berjalan hingga usai dan berakhir dengan foto bersama keluarga Kiayi Rais. Alif pun berdiri di samping Sarah. Ini untuk membuktikan kepada temannya bahwa Alif bisa berfoto bersama Sarah. Namun pada film, itu sama sekali tidak ada, diganti dengan menonjolkan ke-keki-an Alif ketika meminta Sarah untuk menggunakan kamera mode otomatis.
Hal
yang berbeda juga terjadi pada Baso yang diceritakan pada akhirnya
berhasil ke Timur Tengah untuk menggapai cita-citanya menjadi hafidz
Qur’an. Sementara di film, tidak diceritakan sama sekali. Baso hanya
tiba-tiba muncul dengan sosok dewasa yang sedang berada di Indonesia
bersama Said dan Dumajid, sementara Alif, Atang dan Raja berada di
Trafalgar Square.
Hidup Baso!
Film ini menyajikan humor khas Shahibul Menara, ala pesantren. Situasi lebih hidup dengan karakter Baso. Konflik bahkan dimulai dengan kepulangan Baso karena tak mampu melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani. Dia pulang untuk menjaga nenek yang menjadi keluarga satu-satunya. Karakternya sebagai santri yang bercita-cita sebagai hafidz Qur’an justru lebih kuat dibandingkan dengan karakter Alif yang menjadi tokoh sentral.
Film ini menyajikan humor khas Shahibul Menara, ala pesantren. Situasi lebih hidup dengan karakter Baso. Konflik bahkan dimulai dengan kepulangan Baso karena tak mampu melanjutkan sekolahnya di Pondok Madani. Dia pulang untuk menjaga nenek yang menjadi keluarga satu-satunya. Karakternya sebagai santri yang bercita-cita sebagai hafidz Qur’an justru lebih kuat dibandingkan dengan karakter Alif yang menjadi tokoh sentral.
Karakter Baso
juga lebih kuat berkat persahabatannya yang kuat dengan Alif, tingkah
lucunya serta aksen Makassarnya yang terdengar lebih sering diucapkan
seperti Ayo mi, Sudah mi, Nanti pi, Iya to dan sebagainya.
Karakter Baso yang juga tampil sebagai anti klimaks dari permasalahan
Alif membuatnya kian menonjol. Itulah yang berhasil menutupi kekurangan
dan mungkin sedikit kekecewaan penggemar novel Negeri 5 Menara.
Secara
keseluruhan, film ini sudah menyajikan sajian berbeda ditengah
banyknya genre film yang itu-itu saja dari rasa film Indonesia. Durasi
selama 2 jam juga sudah cukup menggambarkan situasi film. Film yang
dibuat dengan berfokus di kehidupan pesantren sudah berhasil ditampilkan
walaupun masih kurang kuat. Fokus film memang lebih kuat pada
persahabatan keenam santri ini. Film ini sangat menarik untuk menjadi
tontonan bagi mereka yang mengalami miss-oriented dalam menentukan pilihan, terutama dalam hal pendidikan yang dijalaninya.
Film ini berhasil menampilkan kekuatan dari “mantra” Man Jadda Wa Jada. Satu dialog yang sangat berkesan dari kekuatan Man Jadda Wa Jada adalah ketika Alif berbicara dengan Said tentang rencana kepindahan Alif.
“Jadi pindah, Lif?”
“Iya… tinggal menunggu surat dari Amak”
“Caranya?”
“Pondok akan memberikan surat pindah untuk bisa ke SMA”
“Kalau ibumu tidak mengijinkan?”
“Saya akan tetap pergi bagaimanapun caranya. Man Jadda Wa Jada”
“Jangan pernah salah artikan ungkapan Man Jadda Wa Jada, Lif!”
“Iya… tinggal menunggu surat dari Amak”
“Caranya?”
“Pondok akan memberikan surat pindah untuk bisa ke SMA”
“Kalau ibumu tidak mengijinkan?”
“Saya akan tetap pergi bagaimanapun caranya. Man Jadda Wa Jada”
“Jangan pernah salah artikan ungkapan Man Jadda Wa Jada, Lif!”
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..