Dokter memutuskan
mengamputasi kakinya. Tapi kesabaran akan janji Allah, membuatnya
sembuh. Manusia langka”, mungkin, predikat ini pantas kiranya kita
sandangkan kepada Sufyan. Karena memang, apa yang menjadi prinsipnya,
tidak sembarang orang mampu mengikuti. Menganggap sakit sebuah ujian,
adalah sesuatu yang biasa. Namun, akan menjadi luar biasa, apabila ada
orang yang ketika tertimpa sakit, ia justru merasa mendapat kenikmatan
dan kelezatan, lebih mengagumkan lagi, sakit yang ia terima tergolong
‘kelas berat’, diabetes mellitus, salah satu jenis ‘pembunuh’ nomor satu
di dunia.
Tapi Sufyan mampu menikmatinya, bukan menyesalinya.“Ni’mat itu tidak
melulu berupa kesehatan”, ungkapnya. Boleh jadi karena sikap ridho dan
pasrahnya inilah, ia akhirnya tak jadi diamputasi. Inilah pengakuannya.
Pristiwa sakit yang menimpa Sufyan bermula saat ditemukannya luka di telapak kakinya pada pertengan Nevember 2008 silam. Awalnya, dia tidak mengira kalau luka itu akan berakibat fatal bagi kesehatan tubuhnya,”Saya kira itu luka biasa,” terangnya. Sebab itu Sufyan hanya berobat di Puskesmas terdekat.
Namun dua hari setelah peristiwa itu, barulah ia menyadari kalau lukanya itu, bukan luka biasa. Sebab, saat itu kakinya menjadi bengkak, berwarna hitam-hitaman, dan terus mengeluarkan cairan dan nanah. Dengan di dampingi sang istri, Siti Chud Faidah, Sufyan kembali ke Puskesmas untuk melakukan ceck up ulang. Dari pemeriksaan itu, akhirnya diketahui kalau ia mengidap penyakit diabetes. Karena lukanya terus menganga, pihak puskesmas menganjurkan kepadanya untuk melakukan perobatan di rumah sakit.
Meski demikian, Sufyan tidak serta-merta mengiyakan anjuran puskesmas untuk berobat ke rumah sakit, karena terkendala dana, “Sempat ragu untuk berobat. Karena biaya rumah sakit itukan mahal,”’ ujarnya.
Setelah melakukan musyawarah dengan keluarga dan dengan diiringi keyakinan, bahwa Allah tidak akan mungkin menguji hambanya di atas kemampuan yang mereka miliki, maka tekad untuk melakukan perobatan di rumah sakit pun jadi. Sejak itu, Sufyan menjalani rawat jalan.
Manusia hanya bisa be-rikhtiar, pada akhirnya, Allah jualah yang menentukan segala sesuatu. Begitu pula prihal penyakit Sufyan. Meskipun telah berobat di beberapa rumah sakit, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, R.S.A.L Dr. Ramlan (Surabaya), dan R.S. Karang Menjangan, Surabaya, penyakitnya tak urung sembuh, yang ada justru sebaliknya, tambah parah.
”Kaki ini tambah bengkak, dan terus mengeluarkan nanah. Karenanya, dokter selalu menyedot nanah yang ada di dalam dengan menggunakan alat suntik,” kenangnya.
“Tidak itu aja, telapak kaki ini tak ubah seperti hati, lembek, warnanya juga seperti perpaduan antara kehitam-hitaman dan kebiru-biruan,” imbuh Sufyan.
Karena terus parah, akhirnya fonis amputasi jatuh pada diri Sufyan. Mendengar kata amputasi, naluri kemanusiaannya tumbuh, ia sempat meneteskan air mata, seraya memegangi kakinya.
“Ya Allah, bagaimana mungkin aku hidup tanpa kaki, “ begitu perasaan Sufyan dalam hati. Meskipun vonis amputasi dinilai dokter merupakan keputusan akhir, Sufyan tetap enggan melakukannya. Ia berkeyakinan,
Salah satu pegangannya adalah salah satu hadits Nabi yang berbunyi, “Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” [Dalam Shahih Bukhari dan Muslim]
Akibat tak mau melakukan amputasi, tidak beberapa lama, ia menderita serangan jantung. Kembali dokter menganjurkan untuk melakukan operasi. Namun ia tetap kukuh menolak. “Saya menolak. Biarlah kalau sudah tiba waktunya mati, ya mati,” tantangnya kala itu pada sang dokter.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, selama menjalani proses perawatan, nyaris tidak ada income yang masuk ke kantong keluarganya. Sufyan terpaksa melakukan cuci gudang. Semua barang-barang layak dijual ia jual. Mobil yang kreditnya belum lunas ikut amblas, sepedah motor, laptop, LCD, TV, kursi tamu, beberapa perabotan rumah tangga adalah diantaranya juga ikut lenyap.
Sementara sakitnya tak juga kunjung sembuh. Hasil roentgen menunjukkan, talapak kakinya sudah mulai membusuk, bahkan, beberapa jarinya sudah tak berfungsi lagi, karena digerogoti oleh bakteri.
Entah karena kesabarannya, suatu hari, Allah berkehendak mempertemukan dirinya dengan seorang sahabat sesama dosen yang memiliki istri seorang dokter.
Atas anjuran sang teman, Sufyan akhirnya melakukan terapi oksigen di salah dokter wanita yang tak lain adalah istri sahabatnya tersebut. Rupanya Allah berkehendak lain, sedikit demi sedikit kakinya mengalami perubahan. Lukanya yang awalnya menganga, kini telah mengering. Kakinya yang sebesar kaki gajah, mulai kempes hingga akhirnya kembali ke bentuk semula.
Sufyan bersyukur, ia yang semua melawan kehendak dokter, akhirnya semakin yakin bahwa janji Allah benar adanya. Selain itu, salah satu yang menyebabkan dirinya termotivasi untuk sembuh adalah peran istri tercintanya yang dinilai sangat sholihah.
Betapa tidak bahagia, ia mengaku memiliki istri yang setia dalam suka maupun duka. Kesabaran istrinya, Siti Chud Faidah, di kala ia menderita, tiada ternilai harganya.
Semenjak ia menderita, Faidah lah yang akhirnya berperan ganda. Selain menjadi ibu rumah tangga, ia terpaksa harus mengantar kemana-mana kegiatan Sufyan, termasuk saat mengajar kuliah. Faidah lah yang harus menjadi sopir untuk antar jemput kegiatan sang suami.
Bahkan, demi mengfokuskan perhatian dalam melayani sang suami, wanita kelahiran Surabaya tahun 1972 ini, rela menghentikan seluruh aktivitasnya, sebagai kepala sekolah salah satu MI di Sidoarjo dan kuliah pasca sarjana di STAI Al-Khaziny.
“Sebaik-sebaik perhiasan dunia adalah istri shalehah,” ujar Sufyan menukil kandungan hadits.
Kini, akibat kesabaran mereka berdua, Allah berkenan meneteskan “madu” nya berupa nikmat kesembuhan dan nikmat iman yang semakin kokoh.
Pasca perkembangan kesembuhan Sufyan, suami-istri ini yang sabar ini tengah memasang ‘kuda-kuda’ untuk menghadapi ujian akhir kuliah. Sufyan kembali sibuk menyusun disertasinya yang berjudul, “Guru Profesional Dalam Perspertif Filsafat Pendidikan Islam” , sedangkan istrinya mempersiapkan tesis yang mengangkat judul, “Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.”
Mengakhiri ceritanya kepada hidayatullah.com, Sufyan hanya berpesan pendek untuk tak selalu berprasangka buruk pada Allah, bahkan terhadap ujian berupa sakit. “Kadang, sakit itu nikmat,” ujarnya.
Pristiwa sakit yang menimpa Sufyan bermula saat ditemukannya luka di telapak kakinya pada pertengan Nevember 2008 silam. Awalnya, dia tidak mengira kalau luka itu akan berakibat fatal bagi kesehatan tubuhnya,”Saya kira itu luka biasa,” terangnya. Sebab itu Sufyan hanya berobat di Puskesmas terdekat.
Namun dua hari setelah peristiwa itu, barulah ia menyadari kalau lukanya itu, bukan luka biasa. Sebab, saat itu kakinya menjadi bengkak, berwarna hitam-hitaman, dan terus mengeluarkan cairan dan nanah. Dengan di dampingi sang istri, Siti Chud Faidah, Sufyan kembali ke Puskesmas untuk melakukan ceck up ulang. Dari pemeriksaan itu, akhirnya diketahui kalau ia mengidap penyakit diabetes. Karena lukanya terus menganga, pihak puskesmas menganjurkan kepadanya untuk melakukan perobatan di rumah sakit.
Meski demikian, Sufyan tidak serta-merta mengiyakan anjuran puskesmas untuk berobat ke rumah sakit, karena terkendala dana, “Sempat ragu untuk berobat. Karena biaya rumah sakit itukan mahal,”’ ujarnya.
Setelah melakukan musyawarah dengan keluarga dan dengan diiringi keyakinan, bahwa Allah tidak akan mungkin menguji hambanya di atas kemampuan yang mereka miliki, maka tekad untuk melakukan perobatan di rumah sakit pun jadi. Sejak itu, Sufyan menjalani rawat jalan.
Manusia hanya bisa be-rikhtiar, pada akhirnya, Allah jualah yang menentukan segala sesuatu. Begitu pula prihal penyakit Sufyan. Meskipun telah berobat di beberapa rumah sakit, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Sidoarjo, R.S.A.L Dr. Ramlan (Surabaya), dan R.S. Karang Menjangan, Surabaya, penyakitnya tak urung sembuh, yang ada justru sebaliknya, tambah parah.
”Kaki ini tambah bengkak, dan terus mengeluarkan nanah. Karenanya, dokter selalu menyedot nanah yang ada di dalam dengan menggunakan alat suntik,” kenangnya.
“Tidak itu aja, telapak kaki ini tak ubah seperti hati, lembek, warnanya juga seperti perpaduan antara kehitam-hitaman dan kebiru-biruan,” imbuh Sufyan.
Karena terus parah, akhirnya fonis amputasi jatuh pada diri Sufyan. Mendengar kata amputasi, naluri kemanusiaannya tumbuh, ia sempat meneteskan air mata, seraya memegangi kakinya.
“Ya Allah, bagaimana mungkin aku hidup tanpa kaki, “ begitu perasaan Sufyan dalam hati. Meskipun vonis amputasi dinilai dokter merupakan keputusan akhir, Sufyan tetap enggan melakukannya. Ia berkeyakinan,
Salah satu pegangannya adalah salah satu hadits Nabi yang berbunyi, “Setiap kali Allah menurunkan penyakit, pasti Allah menurunkan obatnya.” [Dalam Shahih Bukhari dan Muslim]
Akibat tak mau melakukan amputasi, tidak beberapa lama, ia menderita serangan jantung. Kembali dokter menganjurkan untuk melakukan operasi. Namun ia tetap kukuh menolak. “Saya menolak. Biarlah kalau sudah tiba waktunya mati, ya mati,” tantangnya kala itu pada sang dokter.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, selama menjalani proses perawatan, nyaris tidak ada income yang masuk ke kantong keluarganya. Sufyan terpaksa melakukan cuci gudang. Semua barang-barang layak dijual ia jual. Mobil yang kreditnya belum lunas ikut amblas, sepedah motor, laptop, LCD, TV, kursi tamu, beberapa perabotan rumah tangga adalah diantaranya juga ikut lenyap.
Sementara sakitnya tak juga kunjung sembuh. Hasil roentgen menunjukkan, talapak kakinya sudah mulai membusuk, bahkan, beberapa jarinya sudah tak berfungsi lagi, karena digerogoti oleh bakteri.
Entah karena kesabarannya, suatu hari, Allah berkehendak mempertemukan dirinya dengan seorang sahabat sesama dosen yang memiliki istri seorang dokter.
Atas anjuran sang teman, Sufyan akhirnya melakukan terapi oksigen di salah dokter wanita yang tak lain adalah istri sahabatnya tersebut. Rupanya Allah berkehendak lain, sedikit demi sedikit kakinya mengalami perubahan. Lukanya yang awalnya menganga, kini telah mengering. Kakinya yang sebesar kaki gajah, mulai kempes hingga akhirnya kembali ke bentuk semula.
Sufyan bersyukur, ia yang semua melawan kehendak dokter, akhirnya semakin yakin bahwa janji Allah benar adanya. Selain itu, salah satu yang menyebabkan dirinya termotivasi untuk sembuh adalah peran istri tercintanya yang dinilai sangat sholihah.
Betapa tidak bahagia, ia mengaku memiliki istri yang setia dalam suka maupun duka. Kesabaran istrinya, Siti Chud Faidah, di kala ia menderita, tiada ternilai harganya.
Semenjak ia menderita, Faidah lah yang akhirnya berperan ganda. Selain menjadi ibu rumah tangga, ia terpaksa harus mengantar kemana-mana kegiatan Sufyan, termasuk saat mengajar kuliah. Faidah lah yang harus menjadi sopir untuk antar jemput kegiatan sang suami.
Bahkan, demi mengfokuskan perhatian dalam melayani sang suami, wanita kelahiran Surabaya tahun 1972 ini, rela menghentikan seluruh aktivitasnya, sebagai kepala sekolah salah satu MI di Sidoarjo dan kuliah pasca sarjana di STAI Al-Khaziny.
“Sebaik-sebaik perhiasan dunia adalah istri shalehah,” ujar Sufyan menukil kandungan hadits.
Kini, akibat kesabaran mereka berdua, Allah berkenan meneteskan “madu” nya berupa nikmat kesembuhan dan nikmat iman yang semakin kokoh.
Pasca perkembangan kesembuhan Sufyan, suami-istri ini yang sabar ini tengah memasang ‘kuda-kuda’ untuk menghadapi ujian akhir kuliah. Sufyan kembali sibuk menyusun disertasinya yang berjudul, “Guru Profesional Dalam Perspertif Filsafat Pendidikan Islam” , sedangkan istrinya mempersiapkan tesis yang mengangkat judul, “Upaya Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan.”
Mengakhiri ceritanya kepada hidayatullah.com, Sufyan hanya berpesan pendek untuk tak selalu berprasangka buruk pada Allah, bahkan terhadap ujian berupa sakit. “Kadang, sakit itu nikmat,” ujarnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..