Pernikahan dini atau
pernikahan di bawah usia ramai diperbincangkan oleh banyak kalangan di
negeri ini menyusul berita pernikahan Pujiono Cahyo Widianto alias Syeh
Puji, seorang saudagar kaya di Semarang yang berusia 43 tahun, yang
menikahi seorang anak gadis berusia 12 tahun. Pernikahan Syeh puji
diberitakan besar-besaran di media massa setelah digugat oleh Komisi
Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komnas Perempuan.
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.
Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.
Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.
Sebenarnya, dalam fikih atau hukum Islam tidak ada batasan minimal usia pernikahan. Jumhur atau mayoritas ulama mengatakan bahwa wali atau orang tua boleh menikahkan anak perempuannya dalam usia berapapun. Jadi pernikahan Syeh Puji syah secara fikih.
Dasar dari itu semua adalah pernikahan Nabi Muhammad SAW dan Siti Aisyah. Beberapa riwayat menyebutkan, Aisyah dinikahkan dengan Nabi pada usia 6 tahun, dan tinggal bersama Nabi pada usia 9 tahun. Sementara waktu itu Nabi sudah berusia senja, sudah 50-an tahun.
Namun karena pertimbangan maslahat, beberapa ulama memakruhkan praktik pernikahan usia dini. Makruh artinya boleh dilakukan namun lebih baik ditinggalkan. Anak perempuan yang masih kecil belum siap secara fisik maupun psikologis untuk memikul tugas sebagai istri dan ibu rumah tangga, meskipun dia sudah aqil baligh atau sudah melalui masa haid. Karena itu menikahkan anak perempuan yang masih kecil dinilai tidak maslahat bahkan bisa menimbilkan mafsadah (kerusakan). Pertimbangan maslahat-mafsadah ini juga diterima dalam madzab Syafii.
Mereka yang menikahkan anak perempuan pada usia dini biasanya juga berpedoman pada ketetapan mengenai wali mujbir, yakni wali atau orang tua yang boleh memaksa menikahkan anaknya. Istilah wali mujbir hanya ada pada madzhab Syafi’i (dan sebagian Hambali). Pada madzab Hanafi dan Maliki tidak diberlakukan ketetapan ini. Pada madzab Hanafi bahkan hak-hak perempuan dalam pernikahan lebih ditonjolkan.
Sebenarnya dalam ketetapan mengenai wali mujbir ini pun tidak mutlaq. Dengan menjadi wali mujbir, bapak tidak boleh serta merta memaksa anaknya untuk menikah dengan seorang laki-laki. Sekali lagi, dalam madzab Syafi’i pertimbangan maslahat-mafsadah juga diterima.
Dalam kontek Indonesia, kita punya undang-undang yang mengatur penetapan usia nikah. Undang-undang itu merupakan hasil ijtihad para ulama atau ahli fikih setempat atau kita sebut sebagai ijtihad jama’i, yakni ijtihad yang dilakukan bersama-sama oleh ulama pada suatu tempat dan pada suatu masa.
Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas minimal usia perkawinan untuk perempuan adalah 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Lalu juga ada pasal lain yang menyebutkan bahwa pernikahan di bawah usia 21 hanya bisa dilangsungkan dengan persyaratan tambahan.
Aturan mengenai usia nikah itu juga ditegaskan kembali dalam PP No 9 tahun 75 dan Instruksi Presiden No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Maka terlepas dari persoalan Syeh Puji, yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa ketetapan-ketetapan yang berlaku di lingkungan Pengadilan Agama Republik Indonesia harus dipatuhi. Para wali atau orang tua harus memberikan kesempatan kepada anaknya dalam menuntaskan masa kanak-kanaknya untuk belajar dan beroleh pengalaman bersama-teman-temannya yang lain, sebelum ia bekerja atau menjalani kehidupan rumah tangga.
Lebih dari itu, para wali atau orang tua dari anak perempuan juga harus berlaku toleran dan menerima pendapat dari anak perempuannya itu demi kelangsungan masa depannya.
KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..