Para ulama
mutaakhirin (baru-baru ini) membolehkan menjual barang-barang wakaf yang
diperuntukkan bagi masjid dengan syarat yang ketat bahwa alat-alat
masjid yang dimaksud sudah rusak dan tidak patut dipakai lagi. Artinya,
boleh dijual dengan catatan kemaslahatannya hanya bisa didapat dengan
cara dijual, daripada barang tersebut dibakar sia-sia.
Keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin III/18 berikut ini:
Diperbolehkan menjual tikar (alas) wakaf untuk masjid yang sudah rusak, dengan hilangnya keindahan dan manfaatnya, sedangkan kemaslahatannya hanya ada pada penjualannya. Demikian halnya dengan menjual kerangka atap masjid yang telah patah-patah… Dalam at-Tuhfah disebutkan, kebolehan penjualan tersebut agar tidak tersia-siakan karena "hasil yang sedikit dari nilai penjualan yang kembali kepada barang wakaf itu lebih baik dari pada penyia-syiaannya…"
Dicontohkan, jika atap-atap patah itu memungkinkan untuk dimanfaatkan seperti dibuat papan maka sama sekali tidak boleh dijual. Hakim atau pengelola masjid harus berijtihad agar bisa memperoleh kesimpulan yang lebih dekat kepada tujuan dari orang yang mewakafkannya. Imam Subki berpendapat, kalau mungkin dipakai untuk peralatan bangunan, maka jelas dilarang untuk dijual.
Sementara itu sebagian ulama yang tidak membolehkan penjualan alas atau atap masjid yang sudah rusak tersebut adalah demi melanggengkan substansi barang wakaf. Bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang telah diwakafkan walaupun sudah rusak sebagaimana dilarang untuk menjual dan menghibahkannya. Juga dilarang mengubah posisi dan peruntukannya. Dikhawatirkan perubahan bentuk dan peruntukan tersebut di atas dapat menyebabkan keterputusan wakaf.
Ditambahkan bahwa daripada membangun dengan bahan-bahan yang baru lebih baik memakai bahan-bahan (bekas bangunan)lama yang sekiranya telah ditetapkan bahwa barang tersebut memang tidak dibutuhkan lagi, dan jangan menjualnya.
(Keputusan Konferensi besar Pengurus Syuriah Nahdlatul Ulama ke-2 di Jakarta pada tanggal 1-3 Jumadil ‘Ula 1381 H / 11-13 Oktober 1961 M.)
Keterangan dalam kitab I’anatut Thalibin III/18 berikut ini:
Diperbolehkan menjual tikar (alas) wakaf untuk masjid yang sudah rusak, dengan hilangnya keindahan dan manfaatnya, sedangkan kemaslahatannya hanya ada pada penjualannya. Demikian halnya dengan menjual kerangka atap masjid yang telah patah-patah… Dalam at-Tuhfah disebutkan, kebolehan penjualan tersebut agar tidak tersia-siakan karena "hasil yang sedikit dari nilai penjualan yang kembali kepada barang wakaf itu lebih baik dari pada penyia-syiaannya…"
Dicontohkan, jika atap-atap patah itu memungkinkan untuk dimanfaatkan seperti dibuat papan maka sama sekali tidak boleh dijual. Hakim atau pengelola masjid harus berijtihad agar bisa memperoleh kesimpulan yang lebih dekat kepada tujuan dari orang yang mewakafkannya. Imam Subki berpendapat, kalau mungkin dipakai untuk peralatan bangunan, maka jelas dilarang untuk dijual.
Sementara itu sebagian ulama yang tidak membolehkan penjualan alas atau atap masjid yang sudah rusak tersebut adalah demi melanggengkan substansi barang wakaf. Bahwa tidak boleh menjual sesuatu yang telah diwakafkan walaupun sudah rusak sebagaimana dilarang untuk menjual dan menghibahkannya. Juga dilarang mengubah posisi dan peruntukannya. Dikhawatirkan perubahan bentuk dan peruntukan tersebut di atas dapat menyebabkan keterputusan wakaf.
Ditambahkan bahwa daripada membangun dengan bahan-bahan yang baru lebih baik memakai bahan-bahan (bekas bangunan)lama yang sekiranya telah ditetapkan bahwa barang tersebut memang tidak dibutuhkan lagi, dan jangan menjualnya.
(Keputusan Konferensi besar Pengurus Syuriah Nahdlatul Ulama ke-2 di Jakarta pada tanggal 1-3 Jumadil ‘Ula 1381 H / 11-13 Oktober 1961 M.)
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..