Maladewa,
begitu ejaan Melayu menyebut sebuah negara dengan 1200-an pulau koral
di selatan-barat daya India ini, sekitar 700 kilometer sebelah barat
daya Sri Lanka. Ejaan yang lebih universal bagi nama negara Asia
Selatan ini adalah Maldives, dengan nama resmi Republic of Maldives.
Selain
dikenal dengan alamnya yang mengagumkan, Maladewa menyimpan sejarah
perkembangan Islam yang luar biasa. Sebuah pusat penelitian Islam,
Royal Islamic Strategic Research Center (RISSC), tahun lalu melaporkan
hasil penelitian yang menyebut Maladewa sebagai sebuah negara Muslim.
Seperti
dikutip salah satu media online Maladewa, Minivan News, jumlah pemeluk
Islam di sana adalah 99,41 persen dari total jumlah penduduknya.
Sementara konstitusi Maladewa mengklaim bahwa penduduknya 100 persen
Muslim, karena secara tidak langsung, Islam merupakan sebuah
persyaratan seseorang untuk memegang status sebagai warga negara
Maladewa.
Hingga
pertengahan 1991, dari total luas daratannya yang hanya 298 kilometer
persegi, Maladewa memiliki 725 masjid di seluruh penjurunya. Jumlah itu
belum termasuk 266 masjid lainnya yang dikhususkan bagi kaum
perempuan.
Namun,
delapan tahun kemudian, pada Juni 2009, pemerintah Maladewa
mengumumkan penutupan seluruh masjid khusus tersebut. Alasannya, untuk
mengurangi pengeluaran pemerintah terkait pengelolaan masjid dan
menekankan “bahwa tempat shalat terbaik bagi perempuan adalah di rumah”.
Islam
menjadi bagian penting dari negara bermata uang Rufiyaa itu. Hari
Jumat menjadi hari istimewa, sehingga hari kerja ditetapkan mulai Ahad
hingga Kamis. Pada bulan Ramadhan, seluruh kafe dan restoran tutup, dan
pemerintah membatasi jam kerja. Pun setiap adzan dikumandangkan lima
kali sehari, kafe, restoran serta pertokoan menghentikan aktivitas
perniagaan mereka selama lima belas menit.
Hari
Jumat menjadi hari terpenting Muslim Maladewa untuk mengunjungi
masjid. Untuk itu, pertokoan dan perkantoran di seluruh penjuru negara
mengakhiri aktivitas mereka pada pukul 11.00 siang. Khutbah Jumat
dilaksanakan satu setengah jam setelahnya, atau sekitar pukul 12.30.
Islam menjadi salah satu bagian hidup terpenting penduduk Maladewa, dan
menjadi satu-satunya agama yang diakui di negara tersebut.
Sejarah Keislaman Maladewa
Salah
satu situs resmi Maladewa menyebutkan negara tersebut menjadi negara
Islam pada tahun 1153 Masehi. Sebelumnya, Maladewa merupakan negara
Budha.
Menurut
legenda, adalah seorang Muslim Sunni dari Maghrib (Afrika Utara),
tepatnya Maroko, yang membawa Islam ke Maladewa. Sang Muslim pembawa
syiar yang juga seorang hafidz, Abul Barakat Yoosuf Al Barbary, tiba di
Kota Malé (sekarang ibukota Maladewa) dan menetap di sana untuk
menyebarkan Islam.
Legenda
tersebut didasarkan pada kisah seorang musafir Muslim Berber asal
Maroko, Abu Abdullah Muhammad Ibn Batuta (1304-1368), dalam catatan
perjalanannya, Rihla (The Journey).
Menurut
Jawaharlal Nehru dalam Glimpses of World History, Ibn Batuta adalah
seorang penjelajah ulung. Ia menghabiskan 30 tahun, diantaranya untuk
menjelajah Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, bagian barat
Eropa Timur, Timur Tengah, Asia Selatan, dan bagian timur Cina. Ibn
Batuta juga dikenal sebagai Shams ad-Din (A.S. Chughtai, 1990 dalam Ibn
Battuta – The Great Traveler).
Selanjutnya,
menurut Thangeehu Kurevunu Dhivehi Raajjeyge Thaareekhuge
Thanthankolhu (Kutipan-kutipan dari Sejarah Maladewa yang telah
diteliti), Abul Barakat berhasil mengislamkan Maladewa setelah melalui
perjuangan yang panjang dan rumit. Upaya pertamanya gagal sebelum
akhirnya ia memilih mngenalkan syiar Islam di kalangan kerajaan.
Karenanya, orang pertama yang memeluk Islam kala itu adalah sang raja,
Sri Tribuvana Aditiya, yang kemudian diikuti istri dan anak-anaknya.
Setelah
memeluk Islam, raja mengadopsi sebuah nama Islam, yakni Muhammed Ibn
Abdulla. Raja (kemudian diganti menjadi sultan) yang telah memimpin
sejak 1138 M itu lalu mengirimkan misionaris-misionaris Islam ke
berbagai penjuru Maladewa untuk menyebarkan Islam.
Setelah
penduduk Maladewa memeluk Islam, candi-candi serta patung-patung Budha
dihancurkan. Penggalian arkeologi yang dilakukan dalam abad ini
membenarkan fakta mengenai keberadaan candi-candi tersebut selama abad
ke-12 Masehi.
Masih
menurut legenda yang sama, Sultan Muhammed Ibn Abdulla-lah yang
menugaskan pembangunan Masjid Dharumavantha Rasgefaanu Miskiiy
(diadopsi dari kata “mosque”), termasuk juga cikal bakal pembangunan
Hukuru Miskiiy pertama yang kini dikenal pula dengan nama Friday Mosque.
Dan Abul Barakat sang pembawa Islam diminta menetap di Maladewa untuk
mengajarkan Islam kepada penduduk di sana.
Abul
Barakat pada akhirnya meninggal, masih dalam masa kekuasaan Sultan
Muhammed Ibn Abdulla. Menurut sejarawan Hassan Thaajuddheen seperti
dikutip maldivesstory.com.mv, Abul Barakat dimakamkan di Medhuziyaaraiy
di Kota Malé. Medhuziyaaraiy kini menjadi salah satu situs suci yang
terletak di samping istana kepresidenan dan menjadi daya tarik wisata
di Maladewa. Dalam bahasa Dhivehi, “medhu” berarti pusat atau tengah,
sedangkan “ziyaaraiy” berarti makam.
Gelar
terkenal yang disematkan pada Sultan Muhammed Ibn Abdulla, yakni
Dharumavantha Rasgefaanu (yang kemudian diadopsi sebagai nama masjid
yang dibangun semasa hidupnya), menunjukkan bahwa sang Sultan adalah
seorang yang saleh dan baik hati.
Dalam
English-Dhivehi and Dhivehi-English Dictionary – A Guide to The
Language od Maldives Version 1.0 (2005), “dharumavantha” berarti
“righterous,” atau “benar dan baik secara moral.” Sedangkan “rasgefaanu”
berarti “king” atau “raja” sehingga gelar Dharumavantha Rasgefaanu
berarti Raja yang Baik.
Selama
masa kekuasaannya saat memimpin Maladewa pada abad ke-12, Muhammed Ibn
Abdulla dikisahkan terus berjuang memperkuat ketaatan masyarakat pada
aturan dan prinsip-prinsip Islam.
Ia
juga menyusun aturan hukum untuk pemerintahan dan menghancurkan
simbol-simbol agama Buddha. Disebutkan dalam legenda bahwa beberapa lama
setelah meninggalnya Abul Barakat, sang Sultan pergi berhaji ke Makkah
dan tidak pernah kembali.
Selain
legenda tersebut, sebuah versi lain dari tradisi Maladewa menyebutkan
bahwa Muslim yang telah mengislamkan Maladewa bukanlah Abul Barakat
Yoosuf Al-Barbary, melainkan seorang suci Persia bernama Yusuf
Shamsuddin.
Ia
datang dari Tabriz (sebuah kota di barat laut Iran), sehingga disebut
pula dengan nama Tabrizugefaanu. Makamnya ada di antara sejumlah makam
di pekarangan di salah satu sudut Hukuru Miskiiy (Friday Mosque), yang
terletak di Ibukota Malé.
Dalam
Wikipedia disebutkan, sejak abad ke-12 M, terjadi pengaruh yang
terus-menerus dari Arabia, terutama dalam aspek bahasa dan budaya. Hal
itu didukung pula oleh posisi Maladewa yang strategis di tengah Samudera
Hindia, yang menjadi jalur perdagangan antara negara-negara Timur Jauh
dan Timur Tengah.
Negara
dengan luas daratan terkecil di Asia tersebut, lebih kecil dari
Singapura, merdeka dari Britania Raya pada 26 Juli 1965 dan memiliki
populasi sekitar 350.000 jiwa. Dalam aspek tasawuf, Muslim di negara
tersebut masih mempertahankan sejumlah ritual Islam hingga saat ini.
Salah satunya adalah upacara zikir yang disebut Maul’du (Mawlid), yakni
ritual ibadah yang mencakup bacaan dan doa dalam nada melodis
tertentu. Maul’du diadakan di tenda-tenda yang dibangun khusus untuk
acara tersebut.[]
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..