'Sepetak
gurun di Mesir yang dulu adalah samudra menyimpan rahasia tentang
salah satu transformasi evolusi yang paling luar biasa.'
Tiga puluh tujuh juta tahun silam di samudra prasejarah Tethys,
seekor binatang sepanjang 15 meter yang gerakannya lentur dengan
rahang mencangah, dan gigi gergaji mati dan tenggelam ke dasar laut.
Lalu selama ribuan milenium selimut sedimen kian menebal, menutupi
tulang-tulang si gergasi . Laut kemudian surut dan dasar laut berganti
menjadi gurun pasir, angin mulai mengetam batu pasir dan serpihan
batu di atas tulang-tulang tersebut. Perlahan dunia berubah.
Pergeseran kerak bumi mendorong India ke dalam Asia, mendesak naik
Pegunungan Himalaya. Di Afrika, nenek moyang pertama manusia
menegakkan tubuh dan berjalan dengan kaki belakang mereka. Kemudian
para firaun membangun piramida. Kekaisaran Romawi bangkit, lalu
runtuh. Di sepanjang perjalanan waktu tersebut, angin melanjutkan
penggaliannya yang sabar. Lalu pada suatu hari Philip Gingerich
datang untuk menuntaskan pekerjaan sang angin.
Saat Matahari terbenam di suatu malam bulan November tahun silam,
Gingerich yang ahli paleontologi vertebrata University of Michigan
merebahkan badan di samping tulang punggung makhluk yang disebut
Basilosaurus itu. Kami berada di satu lokasi di Wadi Hitan, sebuah
gurun Mesir. Fosil gigi hiu, duri landak laut, dan tulang ikan lele
raksasa berserakan di atas pasir di sekeliling Gingerich. 'Aku
menghabiskan begitu banyak waktu di antara makhluk-makhluk laut ini
sehingga segera saja aku hidup di dunia mereka,' katanya sambil
menyodok-nyodok satu ruas tulang belakang sebesar batang kayu dengan
kuas. 'Saat aku memandang gurun pasir ini, lautan yang kulihat.'
Gingerich sedang mencari bagian penting dari anatomi makhluk itu, dan
ia diburu waktu. Hari kian temaram, dia harus kembali ke perkemahan
sebelum membuat rekan-rekannya khawatir. Wadi Hitan merupakan tempat
yang indah, tetapi tak kenal ampun. Selain tulang-tulang monster laut
prasejarah, Gingerich menemukan sisa jasad-jasad manusia yang naas.
Gingerich beringsut ke arah ekor tulang, memeriksa setiap ruas
tulang punggung dengan gagang kuas. Lalu, dia berhenti dan meletakkan
kuasnya. 'Ini dia harta karunnya,' katanya. Sambil membersihkan
pasir dengan jemarinya secara hati-hati, Gingerich menyingkap
sebatang tulang ramping, panjangnya tak lebih dari 20 sentimeter.
'Jarang-jarang kita bisa melihat kaki paus,' katanya sambil
mengangkat tulang itu dengan kedua tangan secara takzim.
Basilosaurus jelas seekor paus, tetapi paus yang punya dua kaki
belakang kecil yang mencuat dari panggulnya, masing-masing sebesar
kaki anak perempuan tiga tahun. Kaki kecil nan elok itu—terbentuk
sempurna meski tak berguna, setidaknya untuk berjalan—adalah petunjuk
penting untuk memahami bagaimana paus modern yang telah begitu
sukses beradaptasi sebagai mesin renang diturunkan dari mamalia darat
yang pernah berjalan dengan empat kaki. Gingerich telah mengabdikan
sebagian besar kariernya untuk menjelaskan metamorfosis yang boleh
dibilang merupakan yang terbesar dalam dunia satwa. Dalam perjalanan
itu, ia telah menunjukkan bahwa paus, yang dulu diagulkan kaum
kreasionis sebagai bukti terbaik yang menentang evolusi, justru
mungkin merupakan bukti evolusi yang paling elegan.
'Spesimen lengkap seperti Basilosaurus itu ibarat batu Rosetta,'
kata Gingerich saat kami berkendara kembali ke perkemahan
lapangannya. 'Spesimen lengkap dapat mengungkap cara hidup suatu
hewan jauh lebih banyak daripada jasad sepotong-sepotong.'
Wadi Hitan yang secara harfiah berarti 'lembah paus' ternyata sangat
kaya akan “mutiara” semacam itu. Selama 27 tahun terakhir, Gingerich
dan rekan-rekannya telah menemukan sisa-sisa dari 1.000 ekor lebih
paus di tempat tersebut dan masih banyak lagi yang menunggu untuk
ditemukan. Saat kembali ke perkemahan, kami bertemu dengan beberapa
anggota tim Gingerich yang juga baru pulang dari kerja lapangan
mereka. Tak lama kemudian, kami membahas hasil kerja mereka sambil
makan malam berupa daging kambing panggang, ful madammas (kacang
dieng tumbuk), dan roti canai. Mohammed Sameh, kepala pengawas
kawasan konservasi Wadi Hitan telah mencari paus lebih jauh ke arah
timur dan melaporkan beberapa tumpuk tulang yang baru—menjadi
petunjuk segar bagi teka-teki terbesar dalam sejarah alam. Mahasiswa
pascadoktoral Yordania Iyad Zalmout dan mahasiswa pascasarjana Ryan
Bebej tengah menggali moncong paus yang mencuat dari sisi tebing.
'Kami menduga sisa tubuhnya ada di dalam,' kata Zalmout.
Nenek moyang paus dan semua hewan darat lainnya adalah tetrapoda
berkepala pipih, berbentuk seperti salamander yang menyeret tubuhnya
keluar dari laut ke pantai berlumpur sekitar 360 juta tahun lampau.
Pada keturunannya, paru-paru primitif berangsur-angsur memperbaiki
fungsinya, sirip gelambir pun berubah menjadi kaki, dan sendi rahang
tersusun agar mampu mendengar di udara, bukan di air. Mamalia lalu
menjadi salah satu pencinta daratan yang paling sukses; pada 60 juta
tahun yang lalu mamalia telah mendominasi Bumi. Paus termasuk
segelintir mamalia yang berevolusi kembali ke laut, merombak pola
tubuh daratannya agar dapat mengindra, makan, bergerak, dan kawin di
dalam air.
Cara paus menuntaskan transformasi besar seperti itu membuat bingung
ilmuwan yang paling genius sekalipun. Karena sadar bahwa teka-teki
tersebut merupakan salah satu tantangan besar bagi teorinya tentang
evolusi oleh seleksi alam, Charles Darwin mencoba menjelaskan
teka-teki paus dalam Origin of Species edisi pertama. Ia mencatat
bahwa beruang hitam pernah terlihat berenang di permukaan danau dengan
mulut terbuka selama berjam-jam, melahap serangga yang mengapung.
'Saya melihat, tidak ada sulitnya ras beruang diubah oleh seleksi
alam, sehingga struktur dan kebiasaannya semakin sesuai dengan
kehidupan air, dengan mulut yang kian besar,' tulis Darwin
menyimpulkan, 'sampai terbentuk makhluk sebesar paus.' Namun, para
pengkritiknya mengolok-olok gambaran itu dengan lantang dan geli,
sehingga pada akhirnya Darwin menghapus bagian tersebut dari
edisi-edisi bukunya yang berikut.
Hampir seabad kemudian, ahli paleontologi terkemuka di abad ke-20
George Gaylord Simpson masih juga bingung dalam menentukan letak yang
tepat bagi paus dalam pohon evolusi mamalianya yang tertata. 'Secara
keseluruhan, cetacea adalah mamalia yang paling aneh dan
menyimpang,' komentar simpson dengan kesal. 'Tidak ada tempat yang
tepat bagi mereka dalam scala naturae. Seolah-olah mereka menjauh ke
dimensi yang berbeda dengan ordo atau bangsa yang mirip dengannya.'
Adapun para penganut paham antievolusi berpendapat, jika ilmu
pengetahuan tidak dapat menjelaskan transformasi paus, mungkin karena
transformasi tersebut memang tidak pernah terjadi. Mereka berpendapat
bahwa hewan daratan yang mulai beradaptasi dengan kehidupan air akan
segera menjadi hewan yang setengah-setengah, tak mampu bertahan
hidup di air maupun daratan. Dan jika paus benar-benar pernah
menempuh transisi besar ini, di mana bukti fosilnya? 'Perbedaan
anatomi antara paus dan mamalia daratan begitu besar, sehingga
tentunya ada banyak tahap antara di mana makhluk itu pernah mengayuh
dan berenang di laut purba sebelum paus seperti yang kita kenal
muncul,' tulis para penulis Of Pandas and People, buku teks
kreasionis populer yang pertama diterbitkan pada 1989. 'Sejauh ini
bentuk peralihan ini belum ditemukan.'
Tanpa disasari, Philip Gingerich menerima tantangan tersebut pada
pertengahan 1970-an. Setelah meraih gelar Ph.D di Yale, dia memulai
penggalian di Daerah Aliran Sungai Clarks Fork di Wyoming untuk
mendokumentasikan lonjakan populasi mamalia pada awal kala Eosen,
setelah kepunahan dinosaurus sepuluh juta tahun sebelumnya. Pada 1975
dengan harapan dapat melacak migrasi mamalia dari Asia ke Amerika
Utara, Gingerich memulai kerja lapangan di daerah formasi fosil Eosen
tengah di Provinsi Punjab dan North-West Frontier (sekarang disebut
Provinsi Khyber Pakhtunkhwa) Pakistan. Dia kecewa saat menemukan bahwa
sedimen berusia 50 juta tahun yang diincarnya bukanlah daratan
kering melainkan dasar laut dari tepi timur Samudra Tethys. Ketika
timnya menemukan beberapa tulang panggul pada 1977, dengan bercanda
mereka menyebutnya dengan 'paus berjalan'—gagasan yang tidak masuk
akal. Pada saat itu fosil paus yang paling terkenal pun dianggap
mirip dengan paus modern, dengan mekanisme yang canggih untuk
mendengar di dalam air, ekor kuat dengan sirip lebar, dan tanpa kaki
belakang yang keluar dari tubuh.
Lalu pada 1979, seorang anggota tim Gingerich di Pakistan menemukan
tengkorak sebesar tengkorak serigala, tetapi memiliki tulang mirip
layar yang menonjol—dan sangat tidak mirip serigala—di bagian atas dan
samping untuk mendukung otot leher dan rahang yang kuat. Lebih aneh
lagi, rongga otaknya sedikit lebih besar dari kenari. Kemudian pada
bulan yang sama, Gingerich menemukan beberapa spesimen paus purba
dalam sejumlah museum di Lucknow dan Kolkata, India. 'Saat itulah
rongga otak yang kecil itu mulai masuk akal karena paus awal memiliki
tengkorak besar dan otak relatif kecil,' kata Gingerich mengenang.
'Aku mulai berpikir bahwa satwa berotak kecil ini mungkin paus yang
sangat awal.'
Ketika Gingerich membebaskan tengkorak itu dari bungkusnya yang
berupa batu merah nan keras di laboratoriumnya di Michigan, ia
menemukan segumpal tulang padat sebesar buah anggur di dasarnya yang
disebut bula pendengaran, dengan tulang puncak berbentuk S yang
disebut cuaran sigmoid—dua fitur anatomi yang khas pada paus dan
membantunya mendengar di dalam air. Namun, tengkorak tersebut tidak
memiliki beberapa adaptasi lain yang digunakan paus modern untuk
mendengar secara terarah di bawah gelombang. Ia menyimpulkan bahwa
binatang tersebut mungkin semiakuatik, menghabiskan waktu cukup lama
di perairan dangkal, tetapi kembali ke darat untuk beristirahat dan
berbiak.
enemuan paus yang sepanjang diketahui paling primitif
tersebut—Gingerich menamainya Pakicetus, membuat Gingerich melihat
paus dengan cara baru. 'Aku mulai semakin memikirkan transisi
lingkungan besar-besaran yang dialami paus,' katanya mengenang.
'Makhluk ini berawal sebagai hewan darat dan berubah menjadi hewan
air. Sejak itu, aku tenggelam dalam mencari berbagai bentuk transisi
pada lompatan besar ini, dari daratan kembali lautani. Aku ingin
menemukan semuanya.'
Pada 1980-an Gingerich mengalihkan perhatian ke Wadi Hitan. Bersama
istrinya B. Holly Smith yang juga ahli paleontologi dan rekan mereka
dari Michigan, William Sanders, dia mulai mencari paus dalam formasi
fosil yang berusia sekitar 10 juta tahun lebih muda dari dasar laut
tempat dia menemukan Pakicetus. Trio itu menggali kerangka parsial
dari paus yang sepenuhnya akuatik seperti Basilosaurus dan Dorudon
yang lebih kecil, panjangnya lima meter. Kedua jenis tersebut punya
bula pendengaran yang besar dan adaptasi lain untuk pendengaran bawah
air; tubuh panjang dan strimlain dengan tulang punggung yang panjang;
juga ekor berotot untuk menggerakkan tubuh di air dengan ayunan
vertikal yang kuat. Kawasan itu penuh dengan tengkorak kedua jenis
paus itu. 'Setelah berada di Wadi Hitan sebentar saja, orang tentu
merasa melihat paus di mana-mana,' kata Smith. 'Dan tak lama
setelahnya, orang menyadari bahwa memang begitu adanya. Kami segera
memahami bahwa kami tidak mungkin mampu mengumpulkan semuanya, jadi
kami mulai memetakannya dan hanya menggali spesimen-spesimen yang
paling menjanjikan.'
Namun demikian, baru pada 1989 tim tersebut menemukan mata rantai
yang mereka cari untuk menghubungkan paus ke nenek-moyang daratannya,
penemuan yang hampir tak sengaja. Menjelang akhir ekspedisi,
Gingerich sedang menggarap kerangka Basilosaurus ketika menemukan
lutut paus—yang pertama diketemukan dan diketahui—pada kaki yang
terletak di tulang punggung binatang itu pada posisi yang jauh lebih
ke bawah daripada yang ia duga. Karena kini para peneliti sudah tahu
letak kaki itu, mereka memeriksa lagi sejumlah paus yang “sudah
dipetakan” dan segera menemukan tulang paha, tulang kering, dan
tulang betis, serta benjolan tulang yang membentuk kaki dan
pergelangan kaki paus. Pada hari terakhir ekspedisi, Smith menemukan
satu set lengkap jari kaki nan ramping sepanjang 2,5 sentimeter.
Melihat tulang-tulang kecil membuat air matanya berlinang.
'Mengetahui bahwa hewan air yang begitu besar itu masih memiliki
tungkai, kaki, dan jari kaki yang berfungsi, menyadari apa makna hal
ini bagi evolusi paus—itu luar biasa,' ia mengenang.
Meskipun tak mampu menopang bobot tubuh Basilosaurus di darat,
kaki-kaki itu masih ada fungsinya. Kaki itu dapat ditempeli otot yang
kuat, juga memiliki sendi pergelangan yang berfungsi dan mekanisme
penguncian yang rumit di lutut. Gingerich berspekulasi bahwa kaki
paus berperan sebagai perangsang atau pemandu saat kopulasi. 'Pasti
sulit mengendalikan apa yang terjadi di bawah, pada tubuh panjang
mirip ular itu, begitu jauh dari otak,' katanya.
Apa pun kegunaan kaki kecil itu bagi Basilosaurus, penemuannya
menegaskan bahwa leluhur paus pernah berjalan, berjingkik, dan berlari
di darat. Namun, identitas leluhur tersebut tetap belum jelas.
Beberapa fitur kerangka paus purba, terutama gigi pipinya yang besar
dan berbentuk segi tiga tampak sangat mirip dengan gigi mesonychia,
sekelompok karnivora berkuku dari kala Eosen. (Andrewsarchus yang
besar dan mirip dubuk, yang mungkin mamalia karnivora terbesar yang
pernah hidup di darat, mungkin termasuk golongan mesonychia.) Pada
1950-an para ahli imunologi menemukan ciri-ciri pada darah paus yang
menyiratkan bahwa paus adalah keturunan artiodaktil, yaitu ordo
mamalia yang mencakup babi, rusa, unta, dan binatang berkuku genap
lainnya. Pada 1990-an para ahli biologi molekuler yang mempelajari
kode genetis cetacea telah menyimpulkan bahwa kerabat modern yang
paling dekat dengan paus adalah satu binatang ungulate tertentu,
yaitu kuda nil.
Gingerich dan banyak ahli paleontologi lainnya lebih yakin pada
bukti nyata di tulang daripada perbandingan molekul satwa modern.
Mereka percaya paus adalah keturunan mesonychia. Namun untuk menguji
teori tersebut, Gingerich perlu menemukan satu tulang tertentu.
Tulang pergelangan kaki atau astragalus adalah unsur paling khas pada
kerangka artiodaktil karena berbentuk katrol-ganda yang tidak lazim
dengan galur yang jelas di bagian atas dan bawah tulang, seperti
galur pada roda katrol yang menyangga tali. Dengan bentuk seperti
itu, artiodaktil memiliki daya pegas dan kelenturan yang lebih besar
daripada bentuk katrol tunggal yang ditemukan pada satwa berkaki
empat lainnya (paus modern tentu saja tidak membantu karena sama
sekali tidak punya tulang pergelangan kaki).
Kembali ke Pakistan pada 2000, Gingerich akhirnya melihat
pergelangan kaki paus untuk pertama kalinya. Mahasiswa pascasarjana
di timnya Iyad Zalmout menemukan sebuah tulang bergalur di tengah
sisa-sisa seekor paus berumur 47 juta tahun yang baru ditemukan, yang
kemudian dinamai Artiocetus. Beberapa menit kemudian ahli geologi
Pakistan Munir ul-Haq menemukan tulang yang serupa di situs yang
sama. Pada mulanya Gingerich mengira kedua tulang itu adalah
astragalus katrol tunggal dari kaki kanan dan kiri si paus—bukti
bahwa dia benar tentang asal-usul paus. Namun ketika tulang itu
dipegangnya berdampingan, dia bingung karena bentuknya sedikit
asimetris. Saat ia merenungkan hal itu sambil memutar-mutar kedua
tulang itu ibarat pemain teka-teki memosisikan dua keping teka-teki
yang bermasalah, tiba-tiba kedua tulang itu terpasang dengan cocok,
membentuk astragalus katrol ganda yang sempurna. Ternyata para ilmuwan
laboratorium memang benar.
Sambil berjalan kembali ke perkemahan malam itu, Gingerich dan
timnya melewati sekelompok anak desa yang bermain dadu dengan
astragalus kambing. (Sudah beribu-ribu tahun orang di berbagai budaya
menggunakan tulang pergelangan kaki artiodaktil domestik dalam
permainan dan ilmu ramal.) Zalmout meminjam satu dan memberikannya
kepada Gingerich, lalu menyaksikan dengan geli sementara profesornya
itu menghabiskan sisa malam itu menatap pergelangan kaki paus di satu
tangan dan pergelangan kaki kambing di tangan lain secara
bergantian, memperhatikan kemiripan yang tak bisa disangkal. 'Itu
temuan besar, tetapi pemikiran saya jadi dijungkirbalikkan,' kata
Gingerich sambil tersenyum kecut. 'Namun, kini kita tahu pasti dari
mana asal-usul paus dan bahwa teori kuda nil tidak seluruhnya
khayalan belaka.'
Sejak itu Gingerich dan sejumlah ahli paleontologi yang lain
melengkapi kisah paus awal itu, gigi demi gigi, jari kaki demi jari
kaki. Gingerich yakin bahwa cetacea pertama mungkin mirip
antrakoteres, binatang perambah ramping mirip kuda nil yang menghuni
dataran rendah berawa-rawa pada kala Eosen. (Ada teori alternatif
yang diajukan ahli paleontologi Hans Thewissen, yaitu paus adalah
keturunan dari hewan yang mirip dengan Indohyus, yaitu artiodaktil
prasejarah yang mirip rusa, sebesar rakun yang hidup sebagian di
air.) Apa pun bentuk dan ukurannya, paus paling awal muncul sekitar
55 juta tahun lalu, seperti semua ordo mamalia modern yang lain,
selama lonjakan suhu dunia pada awal kala Eosen. Berbagai mamalia itu
tinggal di sepanjang pantai timur Samudra Tethys yang perairannya
memiliki daya tarik evolusi yang kuat: hangat, asin, kaya kehidupan
laut, bebas dari dinosaurus air yang telah punah sepuluh juta tahun
lebih dulu. Dengan masuk ke perairan semakin dalam untuk mengejar
berbagai jenis sumber makanan baru, para perandai awal ini perlahan
berkembang dengan moncong lebih panjang dan gigi lebih tajam yang
lebih cocok untuk menyambar ikan. Pada 50 juta tahun lalu, mereka
telah mencapai tahap yang dicontohkan oleh Pakicetus: perenang berkaki
empat yang mahir, yang masih berkeliaran di daratan.
Lewat adaptasi dengan air, paus awal memperoleh akses ke lingkungan
yang tak terjangkau oleh sebagian besar mamalia lain, lingkungan yang
kaya pakan dan tempat tinggal, serta sedikit pesaing dan
pemangsa—kondisi yang sempurna untuk ledakan evolusi. Yang terjadi
selanjutnya adalah ledakan berbagai eksperimen aneh untuk menjadi
paus, yang sebagian besar berakhir pada kepunahan jauh sebelum zaman
modern. Ada Ambulocetus raksasa seberat 725 kilogram, pemburu
penyergap dengan kaki pendek dan rahang pelahap raksasa yang mirip
buaya air asin yang berbulu; Dalanistes, dengan leher jenjang dan
kepala seperti burung bangau; dan Makaracetus yang berbelalai pendek,
melengkung, dan berotot, yang mungkin digunakan untuk makan moluska.
Sekitar 45 juta tahun lalu, lingkungan air yang menguntungkan
akhirnya menarik paus semakin jauh ke laut, lehernya menjadi mampat
dan kaku agar dapat menyeruak di air dengan lebih efisien, sementara
wajah memanjang dan menajam seperti haluan kapal. Kaki belakang
menebal menjadi piston; kuku merenggang dan memiliki selaput sehingga
mirip kaki bebek raksasa dengan ujung berupa kuku kecil yang
diwarisi dari leluhur binatang berkaki. Metode berenangnya pun
semakin baik:?Ekor yang tebal dan kuat berkembang pada sebagian paus
yang melesat maju dengan gerakan tubuh mengombak naik-turun dengan
kuat. Tekanan seleksi alam untuk gaya gerak yang efisien tersebut
lebih cocok bagi tulang punggung yang lebih panjang dan lentur.
Hidung meluncur mundur dari moncong ke arah ubun-ubun kepala, menjadi
lubang sembur. Seiring waktu, seiring dengan kemampuan paus menyelam
lebih dalam, mata pun mulai berpindah dari atas ke sisi kepala agar
dapat lebih baik melihat dalam air secara lateral. Telinga paus juga
semakin peka terhadap suara di bawah air, dibantu oleh bantalan lemak
yang mengalir di saluran di sepanjang rahang, guna mengumpulkan
getaran bagai antena bawah air dan menyalurkannya ke telinga bagian
tengah.
Meski sudah sesuai dengan air, paus berumur 45 juta tahun itu masih
harus terseok-seok ke pantai dengan jari dan kaki berselaputnya,
mencari air tawar untuk minum, untuk kawin, atau tempat yang aman
untuk beranak. Namun dalam tempo beberapa juta tahun, paus tidak
dapat berbalik lagi: Basilosaurus, Dorudon, dan kerabat-kerabatnya
tak pernah menginjakkan kaki di darat, berenang dengan mantap di laut
lepas dan bahkan menyeberangi Samudra Atlantik sampai ke pesisir yang
kini menjadi Peru dan Amerika Serikat selatan. Tubuh satwa-satwa itu
sudah sepenuhnya beradaptasi dengan gaya hidup di air, kaki depan
memendek dan menjadi kaku sehingga menjadi sirip untuk meluncur, ekor
melebar di ujungnya menjadi candit horizontal dan membentuk
hidrofoil. Panggul terpisahkan dengan tulang belakang, sehingga ekor
memiliki kisaran gerakan vertikal yang lebih luas. Namun, bagaikan
jimat dari kehidupan darat yang sudah lama terlupakan, kaki
belakangnya tetap ada, lengkap dengan lutut, telapak kaki,
pergelangan kaki, dan jari yang semuanya mungil, yang tidak lagi
berguna untuk berjalan tetapi mungkin bermanfaat untuk kawin.
Transisi terakhir dari Basilosaurus ke paus modern dimulai 34 juta
tahun lalu, pada fase iklim dingin yang mendadak, yang mengakhiri
kala Eosen. Penurunan suhu air di dekat kedua kutub bumi, pergeseran
arus laut, dan pembalikan massa air laut yang kaya gizi di sepanjang
pantai barat Afrika dan Eropa menarik paus ke dalam ceruk lingkungan
yang benar-benar baru dan memacu adaptasi yang lain—otak besar,
ekolokasi, lemak penyekat, dan pada beberapa spesies, tulang
penyaring alih-alih gigi untuk meregangkan krill—yang ada pada
cetacea zaman sekarang.
Terutama berkat Philip Gingerich, catatan fosil paus kini menyajikan
salah satu peragaan evolusi Darwin yang paling menakjubkan, bukan
menentangnya. Ironis, Gingerich sendiri tumbuh dalam lingkungan
Kristen yang berprinsip tegas, dalam keluarga Mennonite Amish di Iowa
timur. (Kakeknya petani dan pengkhotbah awam.) Namun, pada saat itu,
ia tidak merasa bahwa agama dan sains bertentangan. 'Kakekku
berpikiran terbuka tentang umur bumi,' katanya, 'dan tidak pernah
menyebut-nyebut evolusi. Jangan lupa, orang-orang ini sangat rendah
hati, hanya mengungkapkan pendapat tentang hal-hal yang mereka
kuasai.'
Gingerich masih heran bahwa banyak orang masih merasa bahwa agama
dan sains bertentangan. Pada malam terakhir saya di Wadi Hitan, kami
berjalan agak jauh dari perkemahan di bawah kubah bintang yang
cemerlang. 'Mungkin aku memang tidak pernah terlalu taat beragama,'
katanya. 'Tetapi, aku menganggap pekerjaanku sangat spiritual.
Bayangkanlah paus-paus itu berenang di sekitar ini, bagaimana mereka
hidup dan mati, bagaimana dunia telah berubah—semua ini membuatku
merasa menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar dari diriku sendiri,
komunitasku, atau keberadaanku sehari-hari.' Dia membentangkan kedua
tangannya, menyertakan cakrawala yang gelap dan gurun pasir serta batu
pasir yang terukir angin dan paus bisu yang tak terhitung jumlahnya.
'Di sini ada tempat untuk agama sebanyak yang kauinginkan.'
0 komentar:
Posting Komentar
Dalam memberikan komentar harap jangan menggunakan spam atau yang berbau porno, komentar anda sangat kami hormati,,,trims...Hidup Saling Berbagi..